Perahu Kertas
Waktu masih kanak – kanak kau membuat perahu kertas dan
Kau layarkan di tepi kali, airnya sangat tenang dan perahumu bergoyang menuju lautan
“Ia akan singgah di bandar – bandar besar,” Kata Seorang lelaki tua. Kau
Sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar. Warna – warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau – kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.”
Akhirnya kau dengar juga pesan dari Si Tua, Nuh, Katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
Akulah Si Telaga
Akulah si telaga, berlayarlah di atasnya;
Berlayarlah meyibakkan riak – riak kecil yang menggerakan bunga – bunga padma;
Berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
Sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
Perahumu biar aku yang menjaganya
Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari
Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari
Mengikutiku di belakang
Aku berjalan mengikuti bayang – bayangku sendiri yang memanjang di depan
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan
Bayang – bayang,
Aku dan bayang – bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara
Kami yang harus berjalan di depan
Gadis Kecil
Ada gadis kecil diseberangkan gerimis
Di tangan kanannya bergoyang payung
Tangan kirinya mengibaskan tangis
Di pinggir padang ada pohon dan seekor burung
Di Atas Batu
Ia duduk di atas baru dan melempar – lemparkan kerikil ke tengah kali
Ia gerak – gerakkan kaki – kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari
Ia pandang sekeliling matahari yang hilang timbul di Sela goyang daun – daunan,
Jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung
Ia ingin yakin bahwa ia benar – benar berada disini
(1981)
Ku Kirimkan Padamu
Ku kirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku
Par avion: sebuah kota, rumputan
Dan bunga – bunga, bangku dan beberapa
Orang tua, burung – burung merpati
Dan langit yang entah batasnya
Aku, tentu saja, tak ada diantara
Mereka, namun ada
Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
Nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring disini;
Ada yang masih ingin ku pandang yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi sebelum kau sapu tamanmu, setiap pagi
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(1989)
Selamat Pagi Indonesia’
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil
Mengangguk danb menyanyi kecil buatmu
Aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
Dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu
Dalam kerja yang sederhana
Bibirku tak bsia mengucapkan kata – kata yang sukar
Dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal
Selalu kujumpai kau di wajah anak – anak sekolah,
Di mata para perempuan yang sabar,
Di telapak tangan yang membatu para perkerja jalanan,
Kami telah bersahabat dengan kenyataan
Untuk diam – diam mencintaimu.
Pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
Agar tak sia – sia kau melahirkanku.
Seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam padamu.
Ku bayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
Aku pun pergi berkerja, menaklukan kejemuan, merubuhkan kesangsian.
Dan menyusun batu demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu.
Pada setiap matahari terbit, o anak zaman yang megah,
Biarkan aku memandang ke timur untuk mengenangmu.
Wajah – wajah yang penuh anak – anak sekolah berkilat, para perempuan
Yang menyalakan api, dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
Percakapan Malam Hujan
Hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang dan payung
Berdiri di samping tiang listrik, katanya kepada lampu
Jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar ku jaga malam.”
“kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara
Desah; asalamu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah
Jangan menggodaku tidur,. Aku sahabat manusia ia suka terang.”
(1973)
Ku Hentikan Hujan
Kuhentikan hujan, kini matahari
Merindukanmu, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut
Dalam diriku.
Menembus tanah basah, dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari.
Tak bisa ku tolak matahari
Memaksaku menciptakan bunga – bunga
(1980)
Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait – bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi diantara larik – larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela – sela huruf sajak ini
Kau takkan letih – letihnya ku cari
(1991)
Tentang Matahari
Matahari yang diatas kepalamu itu
Adalah balonan gas yang terlepas dari tangamu
Waktu kau kecil, adalah bola lampu
Yang ada diatas meja ketika kau menjawab surat – surat
Yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
Adalah jam weker yang berdering
Saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan
Yang dituding anak kecil itu sambil berkata;
“Ini matahari!ini matahari!”
Matahari itu? Ia memang diatas sana
Supaya selamanya kau menghela
Bayang – bayangmu itu
(1971)
Tuan
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
Saya sedang keluar.
(1980)
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Di rahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Di hapusnya jejak – jejak kakinya
Yang ragu – ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari huja bulan Juni
Di biarkannya yang tak terucapkan
Di serap akar pohon bunga itu
(1989)
Kami Bertiga
Dalam kamar ini kami bertiga saja;
Aku, pisau, dan kata
Pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
Tak peduli darahku atau darah kata
Mata Pisau
Mata pisau itu tak berkerjap menatapmu;
Kau yang baru saja mengasahnya
Berpikir; ia tajam untuk mengiris apel
Yang tersedia di atas meja
Sehabis makam malam;
Ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
(1971)
Pada Suatu Pagi Hari
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil
Berjalan tunduk sepanjang lorong itu, ia ingin pagi itu
Hujan turun rintik – rintik dan lorong sepi agar ia bisa
Berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa
Ia tidak ingin menjerit – jerit berteriak – teriak mengamuk
Memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja
Sambil berjalan sendiri dalam huja rintik – rintik di lorong sepi pada suatu pagi.
(1973)
Tentang Tuhan
Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan besabda,” Hari baru lagi”;
Senantiasa berkeliling merawat segenap ciptaannya dengan sangat cermat dan
Hati – hati tanpa memperhitungkan hari
Ia seperti yang pernah kau katakan, tidak seperti kita sama sekali
Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak kita kenal dan juga tidak akan pernah bisa kita kenal
Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu, kita abadi;
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa.
“ Tapi,
Yang fana adalah waktu, bukan?”
Tanyamy. Kita abadi.
(1978)
Dalam Diriku
Because the sky is blue
It makes me cry
(The Beatles)
Dalam diriku mengalir sungai panjang,
Darah namanya,
Dalam diriku menggenang telaga darah,
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma,
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah,
Aku menangis sepuas puasnya
(1980)
Pesta
Pesta berlangsung sederhana, sedikit
Tangis, basa – basi itu, tinggal bau bunga
Gemetar pada tik – tok jam, ingin mengantarmu sampai ke
Tanah – tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi – mimpimu
Di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya
Seperti Kabut
Aku akan menyayangimu
Seperti kabut
Yang raib di cahaya matahari
Aku akan menjelma awan
Hati – hati mendaki bukit
Agar bisa menghujanimu
:
Pada suatu hari baik nanti
Kisah
Kau pergi sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh
Ke namamu sendiri yang tercetak di plat alumunimum itu
Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka
Tak pernah melihatmu lagi
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut
Sehingga ia tak terbaca lagi
Hari ini seorang yang mirip denganmu tampak berhenti di
Depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu.
Ia bersihkan lumut dari plat nama itu, lalu di bacanya
Namamu nyaring – nyaring
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu
Kita Saksikan
Kita saksikan burung – burung lintas di udara
Kita saksikan awan – awan kecil di langit utara
Waktu cuaca pun senyap seketika
Sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenainya
Diantara hari buruk dan dunia maya
Kita pun kembali mengenalnya
Kumandang kekal, percakapan tanpa kata – kata
Saat – saat yang lama hilang dalam igauan manusia
(1967)
Metamorfosis
Ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu,
Mendudukanmu di depan cermin, dan membuatmu
Bertanya,”tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?”
Ada yang sedang diam – diam menulis riwayat hidupmu,
Menimbang – nimbang hari lahirmu, mereka reka sebab – sebab kematianmu
Ada yang sedang diam – diam berubah menjadi dirimu
(1981)
Saat Kecil Tentang Cinta
/I/
Mencintai angin
Harus menjadi siut
Mencintai air
Harus menjadi ricik
Mencintai gunung
Harus menjadi terjal
Mencintai api
Harus menjadi jilat
/II/
Mencintai cakrawala
Harus menebas jarak
/III/
Mencintaimu
Harus menjelma aku
Nokturno
Kubiarkan cahaya bintang memilikimu
Ku biarkan angin, yang pucat dan tak habis – habisnya
Gelisah, tiba – tiba menjelma isyarat, merebutmu
Entah kapan kau bisa ku tangkap
Pada Suatu Magrib
Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini;
Hari hampir magrib, huja membuat segalanya tak tertib
Dan dalam usia yang hampir 60 ini
Astagfirullah! Rasanya dimana – mana ajal mengintip
Setangan Kenangan
Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setengah di lorong yang berlumpur itu, soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar – gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana
Tajam Hujanmu
Tajam hujanmu
Ini suadah terlanjur mencintaimu payung tebuka yang
Bergoyang – goyang di tangan kananku, air yang menetes dari
Pinggir – pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah
Sepatu, arloji yang buram berair kacanya, dua tiga patah kata yang mengganjal tenggrokan deras dingimu
Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan,
Dan selokan – swaranya di beda – bedakan;
Kau akan mendengarnya meski sudah kau tutup pintu
Dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu
Hujan yang tahu benar membeda – bedakan, telah jatuh
Di pohon, jalan, dan selokan
Menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
Waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan
(1981)
Salamu Matahari
Salamu matahari yang membagi – bagikan warna
Di laut, di padang – padang yang dilupakan
Ketika layar perahu mengigau
Tentang bunga ilalang yang panjang
Ketika Jari – Jari Bunga Terbuka
Ketika jari – jari bunga terbuka
Mendadak terasa betapa sengit
Cinta kita
Cahaya bagai kabut, kabut cahaya, di langit
Menyisih awan hari ini; di bumi
Meriap sepi yang purba;
Ketika kemarau terasa ke bulu – bulu mata, suatu pagi
Di sayap kupu – kupu, di sayap warna
Swara burung di ranting – ranting cuaca,
Bulu – bulu cahaya betapa parah
Cinta kita
Mabuk berjalan, diantara jerit bunga – bunga rekah
(1968)
Di Depan Pintu
Di depan pintu bayang – bayang bulan
Terdiam di rumput cahaya yang tiba – tiba pasang
Mengajaknya pergi
Menghitung jarak dengan sunyi
Sajak – Sajak Empat Seuntai
I
Ku kirim padamu beberapa patah kata
Yang sudah langka
Jika suatu hari nanti mereka mencapaimu
Rahasiakan, sia – sia saja memahamiku
II
Ruangan yang ada dalam sepatah kata
Ternyata mirip rumah kita:
Ada gambar, bunyi, dan gerak – gerik disana
Hanya saja kita diharamkan menafsirkannya
III
Bagi yang masih percaya pada kata:
Diam pusat gejolaknya, padam inti kobarnya
Tapi kapan kita pernah memahami laut?
Memahami api yang tak hendak surut?
IV
Apakah yang kita dapatkan di luar kata
Tanam bunga? Ruang angkasa?
Di taman, begitu banyak yang tak tersampaikan
Di angkasa, begitu hakiki makna kehampaan
V
Apa lagi yang bisa ditahan? Beberapa kata
Bersikeras menerobos batas kenyataan
Setelah mencapai seberang masihkah bermakna,
Bagimu, segala yang ingin kusampaikan?
VI
Dalam setiap kata yang kau baca selalu ada
Huruf yang hilang –
Kelau kau pasti akan kembalu menemukannya
Di sela – sela kenangan penuh ilalang
Sonet! Hei! Jangan Kau Patahkan
Hei! Jangan kau patahkan kuntum bunga itu
Ia sedang mengembang begoyang – goyang dahan – dahannya yang tua
Yang telah mengenal baik, kau tahu, segala perubahan cuaca
Bayangkan akar – akar yang seabar menyusup dan menjalar
Hujan pun turun setiap bumi hampir hangun terbakar
Dan mekarlah bunga itu perlahan – lahan dengan gaib, dari rahim Alam
Jangan, saksikan saja dengan teliti
Bagaimana Matahari memulasnya warna – warni, sambil diam – diam
Membunuhnya dengan hati – hati sekali
Dalam kasih sayang, dalam rindu dendam Alam;
Lihat: ia pun terkulai perlahan lahan
Dengan indah sekali, tanpa satu keluhan
(1967)
Hitam Berkata
Hitam berkata kepada putih
“Aku luntur, kau tahu, dan kau kena hitamku.”
Hitam tenggelam kedalam putih
Dan putih, ya Allah, menjelma hitam membatu
Gonggong Anjing
Untuk Rizki
Gonggong anjing itu mula – mula lengket di lumpur lalu
Merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting diatas
Rumah menyusup lewat celah – celah genting bergema
Dalam kamar demi kamar tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki
“ siapa yang bernyanyi bagai bidadari? tanya sunyi
Kepompong Itu
Kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar
Kutukukanmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau
Menutup jendela waktu hari hujan
Kepmpong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan
Meninggalkan tubuhmu melepaskan diri lewat celah
Pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga
Dan kepiting itu hanya bisa menggerak – gerakkan tubuhnya
Ke kanan – kiri, belum saatnya ia menjelma kupu – kupu:
Dan kau tahu. Ia tak berhak bermimpi
Seruling
Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya,
Menutup membuka lubang – lubangnya, menciptakan
Pangeran dan putri dari kerajaan – kerajaan jauh yang tak
Pernah kau bayangkan merdunya...
Ia meraba – raba lubang – lubangnya sendiri yang senantiasa menganga
Telur, 1
Ada sebutir telur tepat ditengah tempat tidurmu yang putih
Rapih, kau tentu saja, terkejut ketika pulang
Malam – malam dan melihatnya di situ, barangkali itulah
Telur yang kadang hilang kadang nampak di tangan
Tukang sulap yang kau tonton sore tadi.
Barangkali telur itu sengaja di taruh di situ oleh anak gadismu
Atau istrimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya
(1973)
Telur 2
Dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap
Burung semoga ada engkau dalam setiap engkau memang ada
Yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah
Udara dingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
Merindukan telur
(1973)
Cermin 1
Cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah
Meraung tersedan, atau terisak,
Meski apapun jadi terbaik didalamnya:
Barangkali ia hanya bisa bertanya;
Mengapa kau seperti kehabisan suara?
(1980)
Cermin 2
Mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari – cari dalam
Cermin;
Tapi cermin buram kalau kau entah dimana, kalau kau
Mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak
Menetes dan terpercik kemana – mana
Dan cermin menangkapmu sia – sia
(1980)
Batu
I
Aku pun akhirnya berubah
Menjadi batu, kau pahatkan,
“Di sini istirah dengan tenteram
Sebongkah batu,
Yang pernah berlayar ke negeri- negeri jauh,
Berlabuh di bandar – bandar besar, dan dikenal
Di 8 penjuru angin;
Akhirnya ia pilih
Kutukan, ia pilih
Ketenteraman itu “Di sini.”
Tetapi kenapa kau pahat juga
Dan tidak kau biarkan saja
Aku sendiri, sepenuhnya?
2
Jangan kau dorong aku
Ke atas bukit itu
Kalau hanya untuk berguling kembali
Ke lembah ini.
Aku tak mau terlibat
Dalam helaan nafas, keringat, harapan, dan sia – siamu
Jangan kau dorong aku
Ke bukit itu; aku tak tahan
Di gerakkan dari diamku ini,
Aku batu, dikutuk
Untuk tenteram
3
Di lembah ini aku tinggal
Menghadap jurang, mencoba menafsirkan
Rasa haus yang kekal;
Ketenteraman ini,
Sekarat ini.
(1991)
Bunga 1
1
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepi
Padang waktu hening pagi terbit, siangnya cuaca berdenyut
Ketika nampak sekawanan gagak terbang
Berputar – putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala
Tapi katanya,”Takut?” kata itu milik kalian saja, para manusia.
Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”
2
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di sela – Sela
Geraham batu – batu gua pada suatu pagi, dan malamnya
Menyadari bahwa tak tampak apapun dalam gua itu dan udara
Ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti
Ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api teriaknya. “itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput pilihan dewata!”
(1975)
Bunga 2
Mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika
Pemilik tanam memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia
Ingin berkata jangan sebab toh wanita itu tak mengenal
Isyaratnya – tak ada alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu kini wajahnya
Anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya selembar demi selembar
Dan membiarkannya berjatuhan menjelma pendar – pendar di permukaan kolam
(1975)
Bunga 3
Seuntai untum melati yang diranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
Tak ada sahutan
Seuntai kuntum melati itu sudah keting: wanginya mengeras
Di empat penjuru dan menjelma kristal – kristal di udara
Ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
Lalu terdengar seperti gema,”hai siapa gerangan yang membawa pergi jasadku?”
(1975)
Angin 1
Angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari
Sudut ke sudut diunia ini pernah pada suatu hari
Berhenti ketika mendengar suaara nabi kita Adam
Menyapa istrinya untuk pertama kali, hei siapa ini yang mendadak didepanku?”
Angin itu tersentak kembali ketika kemudian
Terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia
Terus bertiup tak pernah menoleh lagi –
Sampai pagi tadi: ketika kau bagai terpesona sebab
Tiba – tiba merasa seorang diri di tengah bising – bising ini
Tanpa Hawa
Angin 2
Angin pagi menerbangkan sisa – sia unggun pagi yang terbakar semalaman.
Seeokor ular lewat, menghindar. Lelaki itu masih tidur. Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang di belakang rumah itu tiba – tiba berair kembali.
Saat Belum Berangkat
Mengapa kita masih juga bercakap
Hari hampir gelap
Menyekap beribu kata diantara karangan bunga
Di ruang semakin maya, dunia purnama
Sampai tak ada yang sempat bertanya
Mengapa musim tiba – tiba reda
Kita dimana, waktu seorang bertahan disini
Di luar pada pengirng jenazah menanti
(1967)
Berjalan Di Belakang Jenazah
Berjalan di belakang jenazah angin pun reda
Jam mengerdip
Tak terduga betapa lekas
Siang menepi, melapangkan jalan dunia
Di samping pohon demi pohon menundukkan kepala
Di atas matahari kita, matahari itu juga
Jam mengembang di antaranya
Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
(1967)
Sehabis Mengantar Jenazah
Masih adakah yang kau tanyakan
Tentang hal itu? Hujan pun sudah selesai
Sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak ada habisnya bercakap
Di bawah bunga – bunga menua, matahari yang senja
Pulanglah dengan payung di tangan, tertutup
Anak – anak kembali bermain di jalanan basah
Seperti dalam mimpi kuda – kuda meringkik di bukit – bukit jauh
Barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya
Masih adakah? Alangkah angkuhnya langit
Alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
Seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan
Pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba – tiba
(1967)
Tulisan Di Batu Nisan
Tolong tebarkan atasku bayang – bayang hidup yang lindap
Kalau kau berziarah ke mari
Tak tahan rasanyan terkubur, megap
Dibawah terik si matahari
(1971)
Sepasang Sepatu Tua
Sepasang sepatu tua tergeletak disudut sebuah gudang berdebu
Yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat
Jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh
Cinta kepada sepasang telapak kaki itu
Yang kiri menerka mungkin besok mereka di bawa ke tempat
Sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa
Sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua
(1973)
Puisi Cat Air Untuk Rizki
Angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel
Telpon itu, “Aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!”
Kabel telepon memperingatkan angin yang sedang memungut
Daun itu dengan jari – jarinya gemas, “jangan berisik, menganggu hujan!”
Hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya. “lepaskan daun itu!”
(1975)
Sepasang Lampu Beca
Untuk Isma Sawitri
Ada sepasang lampu beca bernyanyi lirih di muara gang
Tengah malam sementara si abang sudag tertidur sebelum
Gerimis reda
Mereka harus tetap bernyanyi sebab kalau sunyi tiba – tiba
Sempurna bunga yang tadi siang tanggal dari keranda lewat
Itu akan mendadak semerbak dan menyusup ke dalam pori – pori
Si abang beca lalu mengalir di sela – sela darahnya sehingga
Ia merasa sedang bertapa dalam sebuah gua digoda oleh seribu
Bidadari yang menjemputnya ke Surabaya dan hal selamat tinggal dunia
Jarak
Dan Adam turun di hutan – hutan
Mengabur dalam dongengan
Dan kita tiba – tiba disini
Tengadah ke langit kosong sepi
(1968)
Sajak Subuh
Waktu mereka membakar gubuknya subuh itu baru
Saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak,
“Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin
Sekali melihat warna hijau dan mata air, tetapi ketika
Untuk pertama kalinya ia bermimpi subuh itu,
Mereka membakar tempat tinggalnya
“Jangan bermimpi!” gertak mereka. Suara itu terpantul
Di bawah jembatan dan tebing – tebing sungai. Api
Menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke
Pori – pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan
Mereka memukulnya, “Jangan bermimpi!”
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan –
Aubade
Ada bayi menangis di rumah sebelah
Ada deru mesin bisa jemputan sekolah
Ada pagi yang cahayanya tumpah ruah
Ada sisa dingin diangkut truk sampah
(2001)
Di Tangan Anak – Anak
Di tangan anak – anak, kertas menjelma perahu Sinbad
Yang tak takluk kepada gelombang, menjelma burung
Yang jeritnya membukakakan kelopak – kelopak bunga di hutan;
Di mulut anak – anak, kata menjelma Kitab Suci
“Tuan, jangan kau ganggu permainanku ini.”
(1981)
Peristiwa Pagi Tadi
Kepada GM
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh
Kantor tentang lelaki yang terlanggar montor waktu menyeberang
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang
Warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor
Waktu menyeberang, membentur aspal, lalu beramai – ramai
Diangkat ke tepi jalan
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang
Aku yang terlanggar motor waktu menyeberang,
Membentur aspal, lalu diangkat beramai –ramai ke
Tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum
Dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.
Cuplikan Dari Novel Hujan Bulan Juni
Baru kali ini mereka menyadari bahwa kasih sayang mengguguli segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan tidak aakn bisa dicapai tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan pendekatan apapun bahwa kasih sayang ternyata tidak cabul ternyata terasa semakin pesat lajunya walau waktu yang selalu tergesa – gesa terasa bahwa kasih sayang ternyata tidak pernah menawarkan kesempatan untuk tanya jawab yang tak berkesudahan bahwa kasih sayng ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan pelukannya kalau senyap yang tanpa roma tanpa warna tanpa sosok tanpa aksesori mendadak terbanting di lantai kemudian meelsat terpental ke langit – langit untuk turun pelelahan sangat perlahan memeluk dan membujuk mereka berdua agar tidak usah mengatakan sepatah kata pun sedesis huruf pun sebab kata cenderung beada diluar kasih sayang dan kasih sayang tidak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda bahwa ketika berpelukan mereka merasa seperti dituntun untuk sepenuhnya mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa Surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa akrma tanpa gerak tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling menggosok – gosokkan lehernya di perbukitan ilalang yang menjajikan tempat bagi butir – butir embun terakhir kalau cahaya matahari pertama bersinggungan
Dengan cakrawala bahwa kasih sayang adalah Kitab Suci yang tersirat
Bahwa kasih sayang beriman pada senyap
Cuplikan 2
Bagaimana mungkin seorang memiliki keinginan untuk
Mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya
Dalam selembar sapu tangan yang telah di tenunnya sendiri.
Bagaimana mungkin seorang bisa mendadak terbebaskan
Dari jaringan benang yang susun – bersusung, silang – menyilang.
Timpa – menimpa dengan rapi di selembar sapu tangan yang sudah bertahun – tahun lamanya di tenun dengan sabar oleh jari – jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan – hubungan pelik antara perempuan dan laki – laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin.
Cuplikan 3
Tiga Sajak Kecil
I
Bayang – bayang hanya berhak setia
Menyusur partitur ganjil
Suaranya angin tumbang
Agar tak berpisah
Tubuh ke tanah
Jiwa ke angkasa
Bayang – bayang ke sebermula
Suaramu lorong kosong
Sepanjang kenanganku
Sepi itu, mata air itu
Diammu ruang lapang
Seluas angan – anganku
Luka itu, muara itu
2
Di jantungku
Sayup terdengar
Debarmu hening
Di langit – langit
Tempurung kepalaku
Terbit silau
Cahayamu
Dalam intiku
Kau terbenam
3
Kita tak pernah bertemu
Aku dalam dirimu
Tiadakah pilihan
Kecuali disitu?
Kau terpecil dalam diriku