Sabtu, 09 Januari 2021

Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardji



 Perahu Kertas

 

Waktu masih kanak – kanak kau membuat perahu kertas dan

Kau layarkan di tepi kali, airnya sangat tenang dan perahumu bergoyang menuju lautan

“Ia akan singgah di bandar – bandar besar,” Kata Seorang lelaki tua. Kau

Sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar. Warna – warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau – kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.”

Akhirnya kau dengar juga pesan dari Si Tua, Nuh, Katanya,

“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”      

 

 

Akulah Si Telaga

 

Akulah si telaga, berlayarlah di atasnya;

Berlayarlah meyibakkan riak – riak kecil yang menggerakan bunga – bunga padma;

Berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

Sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja

Perahumu biar aku yang menjaganya


Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari

 

Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari

Mengikutiku di belakang

Aku berjalan mengikuti bayang – bayangku sendiri yang memanjang di depan

Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan

Bayang – bayang,

Aku dan bayang – bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara

Kami yang harus berjalan di depan

 

 

Gadis Kecil

 

Ada gadis kecil diseberangkan gerimis

Di tangan kanannya bergoyang payung

Tangan kirinya mengibaskan tangis

Di pinggir padang ada pohon dan seekor burung

 

 

Di Atas Batu

 

Ia duduk di atas baru dan melempar – lemparkan kerikil ke tengah kali

Ia gerak – gerakkan kaki – kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari

Ia pandang sekeliling matahari yang hilang timbul di Sela goyang daun – daunan,

Jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung

Ia ingin yakin bahwa ia benar – benar berada disini

 

(1981)

 

Ku Kirimkan Padamu

 

Ku  kirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku

Par avion: sebuah kota, rumputan

Dan bunga – bunga, bangku dan beberapa

Orang tua, burung – burung merpati

Dan langit yang entah batasnya

 

Aku, tentu saja, tak ada diantara

Mereka, namun ada

 

 

 

Hatiku Selembar Daun

 

Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring disini;

Ada yang masih ingin ku pandang yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi sebelum kau sapu tamanmu, setiap pagi

 

Aku Ingin

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

(1989)

 

Selamat Pagi Indonesia’

 

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil

Mengangguk danb menyanyi kecil buatmu

Aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,

Dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu

Dalam kerja yang sederhana

 

Bibirku tak bsia mengucapkan kata – kata yang sukar

Dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal

Selalu kujumpai kau di wajah anak – anak sekolah,

Di mata para perempuan yang sabar,

Di telapak tangan yang membatu para perkerja jalanan,

Kami telah bersahabat dengan kenyataan

Untuk diam – diam mencintaimu.

 

Pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu

Agar tak sia – sia kau melahirkanku.

 

Seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam padamu.

 

Ku bayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.

 

Aku pun pergi berkerja, menaklukan kejemuan, merubuhkan kesangsian.

Dan menyusun batu demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu.

 

Pada setiap matahari terbit, o anak zaman yang megah,

Biarkan aku memandang ke timur untuk mengenangmu.

 

Wajah – wajah yang penuh anak – anak sekolah berkilat, para perempuan

Yang menyalakan api, dan di telapak tangan para lelaki yang tabah

 

 

Percakapan Malam Hujan

 

Hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang dan payung

Berdiri di samping tiang listrik, katanya kepada lampu

Jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar ku jaga malam.”

 

“kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara

Desah; asalamu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah

Jangan menggodaku tidur,. Aku sahabat manusia ia suka terang.”

 

(1973)

 

Ku Hentikan Hujan

 

Kuhentikan  hujan, kini matahari

Merindukanmu, mengangkat kabut pagi perlahan

Ada yang berdenyut

Dalam diriku.

 

Menembus tanah basah, dendam yang dihamilkan hujan

Dan cahaya matahari.

 

Tak bisa ku tolak matahari

Memaksaku menciptakan bunga – bunga

 

(1980)

 

 

Pada Suatu Hari Nanti

 

Pada suatu hari nanti

Jasadku tak akan ada lagi

Tapi dalam bait – bait sajak ini

Kau takkan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti

Suaraku tak terdengar lagi

Tapi diantara larik – larik sajak ini

Kau akan tetap kusiasati

 

Pada suatu hari nanti

Impianku pun tak dikenal lagi

Namun di sela – sela huruf sajak ini

Kau takkan letih – letihnya ku cari

 

(1991)

 

 

Tentang Matahari

 

Matahari yang diatas kepalamu itu

Adalah balonan gas yang terlepas dari tangamu

Waktu kau kecil, adalah bola lampu

Yang ada diatas meja ketika kau menjawab surat – surat

Yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,

Adalah jam weker yang berdering

Saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan

Yang dituding anak kecil itu sambil berkata;

“Ini matahari!ini matahari!”

Matahari itu? Ia memang diatas sana

Supaya selamanya kau menghela

Bayang – bayangmu itu

 

(1971)

 

Tuan

 

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,

Saya sedang keluar.

 

(1980)

 

Hujan  Bulan Juni

 

Tak ada yang lebih tabah

Dari hujan bulan juni

Di rahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

Dari hujan bulan Juni

Di hapusnya jejak – jejak kakinya

Yang ragu – ragu di jalan itu

 

Tak ada yang lebih arif

Dari huja  bulan Juni

Di biarkannya yang tak terucapkan

Di serap akar pohon bunga itu

 

(1989)

 

Kami Bertiga

 

Dalam kamar ini kami bertiga saja;

Aku, pisau, dan kata

Pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya

Tak peduli darahku atau darah kata

 

 

Mata Pisau

 

Mata pisau itu tak berkerjap menatapmu;

Kau yang baru saja mengasahnya

Berpikir; ia tajam untuk mengiris apel

Yang tersedia di atas meja

Sehabis makam malam;

Ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

 

(1971)

 

Pada Suatu Pagi Hari

 

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil

Berjalan tunduk sepanjang lorong itu, ia ingin pagi itu

Hujan turun rintik – rintik dan lorong sepi agar ia bisa

Berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa

Ia tidak ingin menjerit – jerit berteriak – teriak mengamuk

Memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja

Sambil berjalan sendiri dalam huja rintik – rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

 

(1973)

 

Tentang Tuhan

 

Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan besabda,” Hari baru lagi”;

Senantiasa berkeliling merawat segenap ciptaannya dengan sangat cermat dan

Hati – hati tanpa memperhitungkan hari

 

Ia seperti yang pernah kau katakan, tidak seperti kita sama sekali

 

Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak kita kenal dan juga tidak akan pernah bisa kita kenal

 

 

Yang Fana Adalah Waktu

 

Yang fana adalah waktu, kita abadi;

Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

Sampai pada suatu hari

Kita lupa untuk apa.

“ Tapi,

Yang fana adalah waktu, bukan?”

Tanyamy. Kita abadi.

 

(1978)

 

 

Dalam Diriku

 

Because the sky is blue

It makes me cry

(The Beatles)

Dalam diriku mengalir sungai panjang,

Darah namanya,

Dalam diriku menggenang telaga darah,

Sukma namanya;

Dalam diriku meriak gelombang sukma,

Hidup namanya!

Dan karena hidup itu indah,

Aku menangis sepuas puasnya

 

(1980)

 

 

 

Pesta

 

Pesta berlangsung sederhana, sedikit

Tangis, basa – basi itu, tinggal bau bunga

Gemetar pada tik – tok jam, ingin mengantarmu sampai ke

Tanah – tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi – mimpimu

 

Di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya

 

Seperti Kabut

 

Aku akan menyayangimu

Seperti kabut

Yang raib di cahaya matahari

 

Aku akan menjelma awan

Hati – hati mendaki bukit

Agar bisa menghujanimu

:

Pada suatu hari baik nanti

 

Kisah

 

Kau pergi sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh

Ke namamu sendiri yang tercetak di plat alumunimum itu

Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka

Tak pernah melihatmu lagi

 

Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut

Sehingga ia tak terbaca lagi

 

Hari ini seorang yang mirip denganmu tampak berhenti di

Depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu.

Ia bersihkan lumut dari plat nama itu, lalu di bacanya

Namamu nyaring – nyaring

Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu

 

 

Kita Saksikan

 

Kita saksikan  burung – burung lintas di udara

Kita saksikan awan – awan kecil di langit utara

Waktu cuaca pun senyap seketika

Sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenainya

 

Diantara hari buruk dan dunia maya

Kita pun kembali mengenalnya

Kumandang kekal, percakapan tanpa kata – kata

Saat – saat yang lama hilang dalam igauan manusia

 

(1967)

 

 

Metamorfosis

 

Ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu,

Mendudukanmu di depan cermin, dan membuatmu

Bertanya,”tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?”

 

Ada yang sedang diam – diam menulis riwayat hidupmu,

Menimbang – nimbang hari lahirmu, mereka reka sebab – sebab kematianmu

 

Ada yang sedang diam – diam berubah menjadi dirimu

 

(1981)

 

 

Saat Kecil Tentang Cinta

/I/

Mencintai angin

Harus menjadi siut

Mencintai air

Harus menjadi ricik

Mencintai gunung

Harus menjadi terjal

Mencintai api

Harus menjadi jilat

 

/II/

Mencintai cakrawala

Harus menebas jarak

/III/

Mencintaimu

Harus menjelma aku

Nokturno

 

Kubiarkan cahaya bintang memilikimu

Ku biarkan angin, yang pucat dan tak habis – habisnya

Gelisah, tiba – tiba menjelma isyarat, merebutmu

Entah kapan kau bisa ku tangkap

 

 

Pada Suatu Magrib

 

Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini;

Hari hampir magrib, huja membuat segalanya tak tertib

Dan dalam usia yang hampir 60 ini

Astagfirullah! Rasanya dimana – mana ajal mengintip

 

 

Setangan Kenangan

 

Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setengah di lorong yang berlumpur itu, soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar – gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana

 

 

Tajam Hujanmu

 

Tajam hujanmu

Ini suadah terlanjur mencintaimu payung tebuka yang

Bergoyang – goyang di tangan kananku, air yang menetes dari

Pinggir – pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah

Sepatu, arloji yang buram berair kacanya, dua tiga patah kata yang mengganjal tenggrokan deras dingimu

:
sembilu hujammu

 

 

Sihir Hujan

 

Hujan mengenal baik pohon, jalan,

Dan selokan – swaranya di beda – bedakan;

Kau akan mendengarnya meski sudah kau tutup pintu

Dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu

 

Hujan yang tahu benar membeda – bedakan, telah jatuh

Di pohon, jalan, dan selokan

Menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh

Waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan

 

(1981)

 

Salamu Matahari

 

Salamu matahari yang membagi – bagikan warna

Di laut, di padang – padang yang dilupakan

Ketika layar perahu mengigau

Tentang bunga ilalang yang panjang

 

 

Ketika Jari – Jari Bunga Terbuka

 

Ketika jari – jari bunga terbuka

Mendadak terasa betapa sengit

Cinta kita

Cahaya bagai kabut, kabut cahaya, di langit

 

Menyisih awan hari ini; di bumi

Meriap sepi yang purba;

Ketika kemarau terasa ke bulu – bulu mata, suatu pagi

Di sayap kupu – kupu, di sayap warna

 

Swara burung di ranting – ranting cuaca,

 Bulu – bulu cahaya betapa parah

Cinta kita

Mabuk berjalan, diantara jerit bunga – bunga rekah

 

(1968)

 

 

Di Depan Pintu

 

Di depan pintu bayang – bayang bulan

Terdiam di rumput cahaya yang tiba – tiba pasang

Mengajaknya pergi

Menghitung jarak dengan sunyi

 

 

Sajak – Sajak Empat Seuntai

 

I

Ku kirim padamu beberapa patah kata

Yang sudah langka

Jika suatu hari nanti mereka mencapaimu

Rahasiakan, sia – sia saja memahamiku

 

II

 

Ruangan yang ada dalam sepatah kata

Ternyata mirip rumah kita:

Ada gambar, bunyi, dan gerak – gerik disana

Hanya saja kita diharamkan menafsirkannya

 

III

Bagi yang masih percaya pada kata:

Diam pusat gejolaknya, padam inti kobarnya

Tapi kapan kita pernah memahami laut?

Memahami api yang tak hendak surut?

 

IV

Apakah yang kita dapatkan di luar kata

Tanam bunga? Ruang angkasa?

Di taman, begitu banyak yang tak tersampaikan

Di angkasa, begitu hakiki makna kehampaan

 

V

Apa lagi yang bisa ditahan? Beberapa kata

Bersikeras menerobos batas kenyataan

Setelah mencapai seberang masihkah bermakna,

Bagimu, segala yang ingin kusampaikan?

 

VI

Dalam setiap kata yang kau baca selalu ada

Huruf yang hilang –

Kelau kau pasti akan kembalu menemukannya

Di sela – sela kenangan penuh ilalang

 

 

Sonet! Hei! Jangan Kau Patahkan

 

Hei! Jangan kau patahkan kuntum bunga itu

Ia sedang mengembang begoyang – goyang dahan – dahannya yang tua

Yang telah mengenal baik, kau tahu, segala perubahan cuaca

 

Bayangkan akar – akar yang seabar menyusup dan menjalar

Hujan pun turun setiap bumi hampir hangun terbakar

Dan mekarlah bunga itu perlahan – lahan dengan gaib, dari rahim Alam

 

Jangan, saksikan saja dengan teliti

Bagaimana Matahari memulasnya warna – warni, sambil diam – diam

Membunuhnya dengan hati – hati sekali

Dalam kasih sayang, dalam rindu dendam Alam;

Lihat: ia pun terkulai perlahan lahan

Dengan indah sekali, tanpa satu keluhan

 

(1967)

 

 

Hitam Berkata

 

Hitam berkata kepada putih

“Aku luntur, kau tahu, dan kau kena hitamku.”

Hitam tenggelam kedalam putih

Dan putih, ya Allah, menjelma hitam membatu

 

 

Gonggong Anjing

Untuk Rizki

 

Gonggong anjing itu mula – mula lengket di lumpur lalu

Merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting diatas

Rumah menyusup lewat celah – celah genting bergema

Dalam kamar demi kamar tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki

“ siapa yang bernyanyi bagai bidadari? tanya sunyi

 

 

Kepompong Itu

 

Kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar

Kutukukanmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau

Menutup jendela waktu hari hujan

 

Kepmpong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan

Meninggalkan tubuhmu melepaskan diri lewat celah

Pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga

 

Dan kepiting itu hanya bisa menggerak – gerakkan tubuhnya

Ke kanan – kiri, belum saatnya ia menjelma kupu – kupu:

Dan kau tahu. Ia tak berhak bermimpi

 

 

Seruling

 

Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya,

Menutup membuka lubang – lubangnya, menciptakan

Pangeran dan putri dari kerajaan – kerajaan jauh yang tak

Pernah kau bayangkan merdunya...

 

Ia meraba – raba lubang – lubangnya sendiri yang senantiasa menganga

 

 

Telur, 1

 

Ada sebutir telur tepat ditengah tempat tidurmu yang putih

Rapih, kau tentu saja, terkejut ketika pulang

Malam – malam dan melihatnya di situ, barangkali itulah

Telur yang kadang hilang kadang nampak di tangan

Tukang sulap yang kau tonton sore tadi.

 

Barangkali telur itu sengaja di taruh di situ oleh anak gadismu

Atau istrimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya

 

(1973)                                 

 

Telur 2

 

Dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap

Burung semoga ada engkau dalam setiap engkau memang ada

Yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah

Udara dingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai

Merindukan telur

 

(1973)

 

 

 

Cermin 1

 

Cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah

Meraung tersedan, atau terisak,

Meski apapun jadi terbaik didalamnya:

Barangkali ia hanya bisa bertanya;

Mengapa kau seperti kehabisan suara?

 

(1980)

 

Cermin 2

 

Mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari – cari dalam

Cermin;

Tapi cermin buram kalau kau entah dimana, kalau kau

Mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak

Menetes dan terpercik kemana – mana

Dan cermin menangkapmu sia – sia

 

(1980)

 

Batu

 

I

Aku pun akhirnya berubah

Menjadi batu, kau pahatkan,

 

“Di sini istirah dengan tenteram

Sebongkah batu,

Yang pernah berlayar ke negeri- negeri jauh,

Berlabuh di bandar – bandar besar, dan dikenal

Di 8 penjuru angin;

Akhirnya ia pilih

Kutukan, ia pilih

Ketenteraman itu “Di sini.”

 

Tetapi kenapa kau pahat juga

Dan tidak kau biarkan saja

Aku sendiri, sepenuhnya?

 

 

 

 

2

Jangan kau dorong aku

Ke atas bukit itu

Kalau hanya untuk berguling kembali

Ke lembah ini.

Aku tak mau terlibat

Dalam helaan nafas, keringat, harapan, dan sia – siamu

 

Jangan kau dorong aku

Ke bukit itu; aku tak tahan

Di gerakkan dari diamku ini,

Aku batu, dikutuk

Untuk tenteram

 

3

Di lembah ini aku tinggal

Menghadap jurang, mencoba menafsirkan

Rasa haus yang kekal;

Ketenteraman ini,

Sekarat ini.

 

(1991)

 

 

Bunga 1

 

1

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepi

Padang waktu hening pagi terbit, siangnya cuaca berdenyut

Ketika nampak sekawanan gagak terbang

Berputar – putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala

Tapi katanya,”Takut?” kata itu milik kalian saja, para manusia.

Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”

 

2

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di sela – Sela

Geraham batu – batu gua pada suatu pagi, dan malamnya

Menyadari bahwa tak tampak apapun dalam gua itu dan udara

Ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti

Ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api teriaknya. “itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput pilihan dewata!”

(1975)

Bunga 2

 

Mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika

Pemilik tanam memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia

Ingin berkata jangan sebab toh wanita itu tak mengenal

Isyaratnya – tak ada alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu kini wajahnya

Anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya selembar demi selembar

Dan membiarkannya berjatuhan menjelma pendar – pendar di permukaan kolam

 

(1975)

 

 

Bunga 3

 

Seuntai untum melati yang diranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu

Tak ada sahutan

Seuntai kuntum melati itu sudah keting: wanginya mengeras

Di empat penjuru dan menjelma kristal – kristal di udara

Ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu

Lalu terdengar seperti gema,”hai siapa gerangan yang membawa pergi jasadku?”

 

(1975)

 

Angin 1

 

Angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari

Sudut ke sudut diunia ini pernah pada suatu hari

Berhenti ketika mendengar suaara nabi kita Adam

Menyapa istrinya untuk pertama kali, hei siapa ini yang mendadak didepanku?”

 

Angin itu tersentak kembali ketika kemudian

Terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia

Terus bertiup tak pernah menoleh lagi –

 

Sampai pagi tadi: ketika kau bagai terpesona sebab

Tiba – tiba merasa seorang diri di tengah bising – bising ini

Tanpa Hawa

 

 

 

 

Angin 2

 

 

Angin pagi menerbangkan sisa – sia unggun pagi yang terbakar semalaman.

Seeokor ular lewat, menghindar. Lelaki itu masih tidur. Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang di belakang rumah itu tiba – tiba berair kembali.

 

 

Saat Belum Berangkat

 

Mengapa kita masih juga bercakap

Hari hampir gelap

Menyekap beribu kata diantara karangan bunga

Di ruang semakin maya, dunia purnama

 

Sampai tak ada yang sempat bertanya

Mengapa musim tiba – tiba reda

Kita dimana, waktu seorang bertahan disini

Di luar pada pengirng jenazah menanti

 

(1967)

 

Berjalan Di Belakang Jenazah

 

Berjalan di belakang jenazah angin pun reda

Jam mengerdip

Tak terduga betapa lekas

Siang menepi, melapangkan jalan dunia

 

Di samping pohon demi pohon menundukkan kepala

Di atas matahari kita, matahari itu juga

Jam mengembang di antaranya

Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

 

(1967)

 

Sehabis Mengantar Jenazah

 

Masih adakah yang kau tanyakan

Tentang hal itu? Hujan pun sudah selesai

Sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak ada habisnya bercakap

Di bawah bunga – bunga menua, matahari yang senja

 

Pulanglah dengan payung di tangan, tertutup

Anak – anak kembali bermain di jalanan basah

Seperti dalam mimpi kuda – kuda meringkik di bukit – bukit jauh

Barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya

 

Masih adakah? Alangkah angkuhnya langit

Alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita

Seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan

Pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba – tiba

 

(1967)

 

Tulisan Di Batu Nisan

 

Tolong tebarkan atasku bayang – bayang hidup yang lindap

Kalau kau berziarah ke mari

Tak tahan rasanyan terkubur, megap

Dibawah terik si matahari

 

(1971)

 

Sepasang Sepatu Tua

 

Sepasang sepatu tua tergeletak disudut sebuah gudang berdebu

Yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat

Jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh

Cinta kepada sepasang telapak kaki itu

 

Yang kiri menerka mungkin besok mereka di bawa ke tempat

Sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa

 

Sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua

 

(1973)

 

 

Puisi Cat Air Untuk Rizki

 

Angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel

Telpon itu, “Aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!”

Kabel telepon memperingatkan angin yang sedang memungut

Daun itu dengan jari – jarinya gemas, “jangan berisik, menganggu hujan!”

 

Hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya. “lepaskan daun itu!”

 

(1975)

 

 

Sepasang Lampu Beca

Untuk Isma Sawitri

 

Ada sepasang lampu beca bernyanyi lirih di muara gang

Tengah malam sementara si abang sudag tertidur sebelum

Gerimis reda

 

Mereka harus tetap bernyanyi sebab kalau sunyi tiba – tiba

Sempurna bunga yang tadi siang tanggal dari keranda lewat

Itu akan mendadak semerbak dan menyusup ke dalam pori – pori

Si abang beca lalu mengalir di sela – sela darahnya sehingga

Ia merasa sedang bertapa dalam sebuah gua digoda oleh seribu

Bidadari yang menjemputnya ke Surabaya dan hal selamat tinggal dunia

 

 

Jarak

 

Dan Adam turun di hutan – hutan

Mengabur dalam dongengan

Dan kita tiba – tiba disini

Tengadah ke langit kosong sepi

 

(1968)

 

 

Sajak Subuh

 

Waktu mereka membakar gubuknya subuh itu baru

Saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak,

“Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti

 

Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin

Sekali melihat warna hijau dan mata air, tetapi ketika

Untuk pertama kalinya ia bermimpi subuh itu,

Mereka membakar tempat tinggalnya

 

“Jangan bermimpi!” gertak mereka. Suara itu terpantul

Di bawah jembatan dan tebing – tebing sungai. Api

Menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke

Pori – pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan

Mereka memukulnya, “Jangan bermimpi!”

Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan –

 

 

Aubade

 

Ada bayi menangis di rumah sebelah

Ada deru mesin bisa jemputan sekolah

Ada pagi yang cahayanya tumpah ruah

Ada sisa dingin diangkut truk sampah

 

(2001)

 

Di Tangan Anak – Anak

 

Di tangan anak – anak, kertas menjelma perahu Sinbad

Yang tak takluk kepada gelombang, menjelma burung

Yang jeritnya membukakakan kelopak – kelopak bunga di hutan;

Di mulut anak – anak, kata menjelma Kitab Suci

 

“Tuan, jangan kau ganggu permainanku ini.”

 

(1981)

 

Peristiwa Pagi Tadi

 

Kepada GM

 

Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh

Kantor tentang lelaki yang terlanggar montor waktu menyeberang

 

Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang

Warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor

Waktu menyeberang, membentur aspal, lalu beramai – ramai

Diangkat ke tepi jalan

 

Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang

Aku yang terlanggar motor waktu menyeberang,

Membentur aspal, lalu diangkat beramai –ramai ke

Tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum

Dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit

 

Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.

 

 

Cuplikan Dari Novel Hujan Bulan Juni

 

Baru kali ini mereka menyadari bahwa kasih sayang mengguguli segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan tidak aakn bisa dicapai tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan pendekatan  apapun bahwa kasih sayang ternyata tidak cabul ternyata terasa semakin pesat lajunya walau waktu yang selalu tergesa – gesa terasa bahwa kasih sayang ternyata tidak pernah menawarkan kesempatan untuk tanya jawab yang tak berkesudahan bahwa kasih sayng ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan pelukannya kalau senyap yang tanpa roma tanpa warna tanpa sosok tanpa aksesori mendadak terbanting di lantai kemudian meelsat terpental ke langit – langit untuk turun pelelahan sangat perlahan memeluk dan membujuk mereka berdua agar tidak usah mengatakan sepatah kata pun sedesis huruf pun sebab kata cenderung beada diluar kasih sayang dan kasih sayang tidak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda bahwa ketika berpelukan mereka merasa seperti dituntun untuk sepenuhnya mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa Surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa akrma tanpa gerak tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling menggosok – gosokkan lehernya di perbukitan ilalang yang menjajikan tempat bagi butir – butir embun terakhir kalau cahaya matahari pertama bersinggungan

Dengan cakrawala bahwa kasih sayang adalah Kitab Suci yang tersirat

 

Bahwa kasih sayang beriman pada senyap

 

 

Cuplikan 2

 

Bagaimana mungkin seorang memiliki keinginan untuk

Mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya

Dalam selembar sapu tangan yang telah di tenunnya sendiri.

Bagaimana mungkin seorang bisa mendadak terbebaskan

Dari jaringan benang yang susun – bersusung, silang – menyilang.

Timpa – menimpa dengan rapi di selembar sapu tangan yang sudah bertahun – tahun lamanya di tenun dengan sabar oleh jari – jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan – hubungan pelik antara perempuan dan laki – laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin.

 

 

Cuplikan 3

 

Tiga Sajak Kecil

I

 

Bayang – bayang hanya berhak setia

Menyusur partitur ganjil

Suaranya angin tumbang

 

Agar tak berpisah

Tubuh ke tanah

Jiwa ke angkasa

Bayang – bayang ke sebermula

 

Suaramu lorong kosong

Sepanjang kenanganku

Sepi itu, mata air itu

 

Diammu ruang lapang

Seluas angan – anganku

 

Luka itu, muara itu

 

2

 

Di jantungku

Sayup terdengar

Debarmu hening

 

Di langit – langit

Tempurung kepalaku

Terbit silau

Cahayamu

 

Dalam intiku

Kau terbenam

3

 

Kita tak pernah bertemu

Aku dalam dirimu

 

Tiadakah pilihan

Kecuali disitu?

 

Kau terpecil dalam diriku