Minggu, 09 Agustus 2020

puisi ayat - ayat api



 Ayat Nol (Ruang Ini)


Kau seolah mengerti, tak ada lubang angin diruang terkunci ini.
Seberkas bunga plastik diatas meja, asbak penuh, dan sebuah buku yang terbuka pada halaman pertama

Kau cari catatan kaki itu, sia2

Catatan Masa Kecil

Ia tak pernah bertanya kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Sejak mula ia sayang pada angka nol. Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam2 ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada dirumah dan dihalaman rumah terdengan langkah2 bakiak almarhum neneknya dan ia ingin kencing ke kamar mandi tetapi takut ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan langsung kencing saja dikasur. Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol

AUBADE

percik2 cahaya. Lalu kembali hijau namamu, daun yang menjelma kupu2, ketika anak2 bernyanyi melintas didepan jendela itu lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pagi ini

Didepan pintu

Didepan pintu: bayang2 bulan
Terdiam dirumput. Cahaya yang tiba2 pasang mengajaknya pergi menghitung jarak dengan sunyi

Aku Tengah Menantimu

Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas dipucuk kemarau yang mulai gundul itu
Berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu yang telah hati2 ku catat, tapi diam2 terlepas

Awan2 kecil melintas diatas jembatan itu, aku menantimu
Musim telah mengembun diantara bulu2 mataku
Kudengar berulang suara gelombang udara memecah
Nafsu dan gairah panjang telanjang disini, bintang2 gelisah

Telah rontok kemarau2 yang tipis, ada yang mendadak sepi
Ditengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti
Barangkali semakin jarang awan2 melintas disana dan tak ada, kau pun, yang merasa begitu lama

Garis

Menyayat garis2 hitam
Atas warna keemasan, di musim apa
Kita mesti berpisah tanpa 
Membungkukan selamat jalan?

Sewaktu cahaya tertoreh
Ruang hening oleh bisik pisau: Dikau-kah debu, bianglala itu
Kabut diriku?

Dan garis2 tajam (berulang kembali, berulang ditolakkan) atas latar keemasan pertanda aku pun hamil. Kau tinggalkan


Pagi

Ketika angin pagi tiba kita seketika tak ada
dimana saja. Dimana saja bayang - bayang gema cinta kita
yang semalam sibuk menerka - nerka

Di antara meja, kursi, dan jendela? Kamar
berkabut di setiap saat kita berada.
jam - jam terdiam
sampai kita gaib begitu saja. Ketika angin 

Pagi tiba tak terdengar "Dimana kita?"
masing - masing mulai kembali berkelana
cinta yang menyusur jejak cinta
yang pada kita tak habis - habisnya menerka

Kamar

Ketika kumasuki kamar ini
pasti dikenalnya kembali aku
suara langkahku, nafasku
dan ujung - ujung jari yang dulu menyentuhnya

Dan kali ini pertemuan ini
tanpa jam dinding
begitu saja di suatu sore hari
swaktu percakapan tak diperlukan lagi

Tanpa engah - engahan pendek
tanpa "malam begitu cepat lalu!"
dan kulihat bibir - bibirnya sembilu
menoreh kenanganku

Percakapan

Lalu kemana lagi percakapan kita (desah jam) 
menggigilkan ruangan, kata - kata yang sudah
dikosongkan, semakin hijau pohonan diluar
sehabis hujan semalaman: semakin merah

bunga - bunga ros dibawah jendela, dan kabut,
dan kabut yang selalu membuat kita lupa)
sehabis hujan, sewaktu masing - masing mencoba
mengingat - ingat nama, jam semakin putih tik - toknya

Sehabis Percakapan

Sehabis percakapan pendek
warna - warna menyisih
ke putih: tamasya yang diluar
sia - sia menunggu

Sajak Dalam Tiga Bagian

/I/

Dingin malamkah ini
yang kukembalikan padamu
sepenuhnya? Warna - warni mendadak gila
dalam putih. Tinggal sengal

/II/

Di balik rumpun bambu itu aku tersayat menunggu
begitu katamu: ah kau telah menggodaku untuk bunuh diri
Kalau kali ini pun palsu

/III/

Bintang - bintang yang dingin itu telah membuatku mabuk,
menyebut - nyebut namamu
angin yang tajam itu telah membuatku mabuk, menyebut -  nyebut namamu
bunga rumput liar itu telah membuatku mabuk, menyebut - nyebut namamu
ternyata sudah lama aku berniat membunuhmu, kekal padamu


Jaring

Maka berpecahan bunga api. Diam pun
(katakan sesuatu, bisikmu) merata
diantara berkas - berkas nafasmu. Ku bayangkan capung
pada jaring laba - laba, pada silangan - silangan cahaya

Sunyi Yang Hebat

Sunyi yang lebat: ujung - ujung jari
sunyi yang lebat: bola mata dan gendang telinga
sunyi yang lebat: lidah dan lubang hidung
sunyi yang dikenal sebagai hutan: pohon - pohon roboh,
margasatwa membusuk ditepi sungai kering, para
Pemburu mencari jejak pancaindra

Salamku Matahariku

Salamku matahari! yang membagi - bagikan warna
dilaut, di padang - padang yang dilupakan
ketika layar perahu menggigau
tentang bunga ilalang pajang

Sepasang Lampu Beca (Untuk Isma Sawitri)

Ada sepasang lampu beca bernyanyi lirih di muara gang
tengah malam sementara si abang sudah tertidur sebelum
gerimis reda

Mereka harus tetap bernyanyi sebab kalau sunyi tiba - tiba
sempurna bunga yang tadi siang tanggal dari keranda lewat itu
akan mendadak semerbak dan menyusup ke dalam pori - pori
si abang beca lalu mengalir di sela - sela darahnya sehingga ia 
merasa sedang bertapa dalam sebuah gua digoda oleh seribu
bidadari yang menjemputnya ke Surabaya dan hai selamat tinggal dunia


Ayat Alroji

Dongeng Marsinah

/I/

Marsinah buruh pabrik arloji
mengurus presisi
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi
waktu memang tak pernah kompromi
ia sangat cermat dan pasti

Marsinah itu arloji sejati
tak lelah berdetak 
memintai kefanaan
yang abadi:
"kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi."

/II/

Marsinah kita tahu, tak bersenjata
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih.
lalu menguap ke mana - mana,
"Ia suka berpikir," kata siapa,
"itu sangat berbahaya."

Marsinah tak ingin menyulut api
ia hanya memuat jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
"Ia tahu hakikat waktu," kata siapa, 
"dan harus dikembalikan ke asalnya, debu."

/III/

Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput dirumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar kerumah siapa,'
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi:
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lengkingan detiknya
tidak kedengaran lagi

Ia tidak diberi air
ia dtidak diberi nasi:
detik pun gerah
berloncatan kesana kemari
Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak - acak
dan tubuhnya dibiru lebamkan
dengan besi tambangan

Detik pun tergelatak
Marsinah pun abadi

/IV/

Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas,
Angin dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk,
semak - semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan
sempurna, sendiri

Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman?Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan

/V/

"Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
kedunia lagi: jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi."

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)

"Sengsara betul hidup disana
jika suka berpikir,
jika suka memasak kata:
apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok, 
bagai roda pedati?"

(Malaikat tak suka banyak berkata, 
ia biarkan gerbang terbuka.)

"Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampaknya garang
di poster - poster itu:
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana."

(Malikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)

/VI/

Marsinah itu arloji sejati
melingkar di pergelangan
tangan kita ini:
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya,
agar belajar memahami
hakikat posisi

Kita tatap wajahnya 
setiap pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak - detiknya
di setiap getaran kata

Marsinah itu arloji sejati,
melingkar dipergelangan
tangan kita ini.

(1993 - 1996)

Bunga Randu Alas

Bunga randu alas itu telah merekah, dan angin
kemarau yang malam hari suka jadi sejuk sering lewat di sana.
"Kenapa selalu terbayang bara sisa ketika kutata[ bunga itu," kata angin
yang diam - diam terlanjur telah mencintainya. "Kenapa bukan warna subuh, atau setidaknya batu delima, atau apa saja asal bukan bara sisa."

Pohon randu alas itu telah menjulang di kuburan samping
rumah kami: setiap kemarau bunga - bunganya yang 
merah suka melengking, bahkan sampai larut malam,
Angin, yang sering terjepit di antara batang bambu, telah 
jatuh cinta padanya - hanya Tuhan yang tahu kenapa jadi begitu

Angin itu jugalah yang berjingkat mengantar
lengking bunga itu sampai ke sudut - sudut  paling jauh
dalam tidur nyenyakku. Dalam lengking bunga itulah
tersirat lirih suaranya sendiri, ", Mengapa bara sisa yang 
terbayang dan bukan kobaran api."


Tentang Mahasiswa Yang Mati, 1996

Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame - rame hari itu. Aku tak mengenalnya
hanya dari koran, tidak begitu jelas memang,
kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya 
demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan
untuk mencintainya. Ia bukan
mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja 
ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat,
atau diam saja kalau ditanya,
atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja
setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka
membaca sehingga semua guru jadi asing baginya. 
Dan tiba - tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati:
begitu berita yang ada dikoran pagi ini 
entah kenapa aku mencintanya
karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga
membuat hubungan antara yang hidup
dan yang mati, yang tak saling mengenal.
Siapa namanya, mungkin disebut di koran, tapi aku tak ingat lagi
dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah mati hari itu dan ada saja yang jadi ribut di negeri orang mati, mungkin ia sempat merasa was - was
akan nasib kita yang telah meributkan mahasiswa mati

Yang Paling Menakjubkan

Yang paling menakjubkan didunia yang fana ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita bisa membayangkannya apa saja tentangnya,
menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa

Kita bisa membayangkannya sebagai jantung
yang letih, yang dindingnya berlemak,
yang memompa sel - sel darah agar bisa menerobos
urat - urat yang sempit, yang tak lagi lentuk

Kita bisa membayangkannya sebagai bola mata
yang tiba - tiba tak mampu membaca aksara
di dinding kamar periksa seorang dokter
ketika ditanya. " Apa yang Tuan lihat disana?"

kita bisa membayangkannya sebagai lidah
yang tiba - tiba dipaksa menjulur agar bisa diperiksa
apakah kemarin, atau tahun lalu, atau entah kapan
pernah mengucapkan suatu dosa, entah apa

Sungguh, yang paling menakubkan di dunia kita ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya 
sementara orang berhak juga menganggap kita gila


Iklan

Ia penggemar berat iklan. "Iklan itu sebenar - benarn hiburan.", kata lelaki itu.
"Siaran berita dan cerita itu sekedar selingan." Ia tahan seharian di depan televisi, Istrinya suka menyediakan kopi dan kadang - kadang
kacang atau kentang goreng untuk menemaninya mengunyah iklan

Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika ia
menirukan lagu iklan supermi kepalanya  bergoyang - goyang
dan matanya berninar - binar. Anak lelakinya 
sering memandangnya curiga jika ia tertawa melihatdemi sar
badut itu mengiklankan sepatu sendal kakinya
digerak - gerakannya ke kanan dan kiri. Dan istrinya suka 
tidak paham jika ia mendadak terbahak - bahak ketika
menyaksikan iklan tentang kepedulian sosial itu dua
tangannya terkepal dan dihentak - hentakannya

Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu konon
yang terakhir di ucapkannya sebelum "Allahuakbar" 
adalah "Hidup iklan!" sejak itu istrinya gemar duduk
di depan televisi, bersama anak - anaknya, menebak - nebak
iklan mana garangan yang menurut dokter itu
telah menyebabkannya begitu bersemangat sehingga
jantungnya mendadak berhenti

Kelereng

 Kalah main, kelerengku tinggal lima butir, Aku anak
laki -laki, tidak boleh menangis, kata Ibu.  Ku pungut kelereng itu satu
demi satu, ku masukkan ke saku. Di
jalan pulang, selalu kuraba - raba sebab khawatir kalau - kalau
ada yang terjatuh dari lubang kantung celanaku.

Ketika mau belajar, selesai makan malam, kudapati
kelerengku berkurang satu. Kutaruh semua yang sisa di atas meja, tak ada lagi yang bulat sempurna sebab
seharian berbenturan dengan sesamanya, tetapi di mana
gerangan kelerengku yang belimbing, yang warnanya biru? Aku anak laki - laki,
tidak berhak meangis, kata Ibu.
Aku boleh saja tak peduli, kelerengku yang
lain yang bintik - bintik, yang belimbing coklat, yang
susu, dan yang loreng merah hijau akan selalu bertanya
padaku di mana gerangan temannya yang satu itu. Itu sebabnya aku harus mencarinya, tetapi ke mana aku tak tahu

Ibusayang padamu

Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia
adalah perempuan yang menjadi korban mimpi - mimpi
ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah
makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah 
saja dari rumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian
ke makam, menyapu sampah dan kadang - kadang,
menebarkan beberapa kuntum bunga. "Ayahmu bukan
pemimpi," Katanya yakin meskipun tidak berapi - api,terbang dari mega ke mega dan tidak mondar - mandir dai" ia
tahu benar apa yang akan terjadi."

Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah,
Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah
utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka 
mengingatkanku untuk menengok makam Ayah,
mengirim doa dari rumah saja. "Ayahmu dulu sangat
sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah
mempercayai segala yang dikatakannya." 

Dalam perjalanan kembali ke Jakarta,sambil
menengok ke luar jendela pesawat udara, sering
kubayangkan Ibu berada di antara mega - mega. Aku
berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal disana,
di antara bidadari - bidadari kecil yang dengan ringan 
terbang dari mega ke mega dan tidak mondar -mandir 
dari dapur ke tempat tidur, memberi makan 
dan menyusui anak - anaknya."Sungguh, dulu ayahmu
sangat sayang padamu," Kata Ibu selalu," meskipun
sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami inguanmu

Tiga Sajak Ringkas Tentang Cahaya

/I/

Cahaya itu, yang sesat
di antara pencakar langit,
sia - sia mencari
bayang - bayangnya.
"Apakah ada cahaya
yang tanpa bayang - bayang?"
pikirnya,
ketika sore begitu cepat tiba
dan matahari sampai serak
memanggilnya.

Malam hari, begitu banyak
bayang  - bayang bersijingkat
di sekitar gedung - gedung tingggi ini.
Mereka berjumpa si seat itu
dan berkata, hampir serempak,
"Tapi kau bukan sumberku!"

/II/

 

Pada suatu hari

Sebuah cahaya

Yang sangat terang

Berniat mencari sumbernya.

Setelah menempuh hutan,

Menyusur sungai,

Mendaki gunung,

Dan meluncur di padang salju

Sampailah ia

Ke sebuah padang pasir.

Suatu bayang – bayang

Yang sangat panjang,

dan sangat hitam, menyambutnya,

“Aku sumbermu, katanya.

 

Letih dan lelah, tokoh kita

Si cahaya terang itu

Berhenti dan berkata ya saja,

Meskipun ia curiga

Bagaimana bisa di pasang pasir

Yang begitu luas dan rata

Dan tak ada sosok apapun itu

Bisa tercipta bayang - bayang


/III/


 Ketika bangun pagi ini,

Kudapati cahaya kecil,

Sisa semalam,

Bersembunyi di sudut kamar ku,

Aku hampir tidak mengenalinya

Sampai ketika aku hampir keluar kamar

Ia berkata, “Tutup lembali

Pintu itu, cepat,

Aku tak tahan meghadapi

Cahaya di luar itu!”

Tentu saja.

Sumber mereka berbeda,

Pikirku.

“Siapa bilang begitu!”

Hardik cahaya diluar

Yang menyilaukan itu.


Hawa Dingin

Dingin malam memang tak pernah mau

Menegurmu, dan membairkanmu telanjang:

Berdiri saja ia disudut itu

Dan membentakku, “Ia hanya bayang – bayang.”

 

“Bukan, ia tulang rusukku,” sahutku

Sambil menyaksikannya mendadak menyebar

Ke seluruh kamar yang tersisa tinggal abu

Sesudah kita berdua habis terbakar


Adam Dan Hawa


Biru langit

Menjadi sangat dalam

Awan menjelma burung

Berkas – berkas cahaya

Sibuk jalin – menjalin

Tanpa pola

Angin tersesat

Di antara sulur pepohonan

Di hutan

Ketika Adam

Tiba – tiba saja

Melepaskan diri

Dari pelukan perempuan itu

Dan susah – payah

Berdiri, berkata

“Kau ternyata

Bukan perawan lagi

Lalu siapa gerangan

Yang telah

Lebih dahulu

Menidurimu?”


Memancing


Baru kecil yang tadi iseng kau lemparkan

Ke dalam kolam pemancingan itu

Mendadak sadar dan membayangkan dirinya ikan

Yang menyambar – nyambar mata kailmu

 

Tapi batu kecil memang bukan ikan

Dan kailmu tidak dirancang untuk batu itu

Tapi kenapa kau suka iseng melempar – lemparkan

Sehingga batu itu mendambakan kailmu

 

Batu itu, murung, ada di dasar kolam sekarang

Di sekitarnya ikan – ikan tak acuh berseliweran

Sementara kailmu terpencil begoyang – goyang

Di tepi kolam kau terkantuk – kantuk sendirian


 

Ruang Tunggu


Ada yang terasa sakit

Di pusat perutnya

Ia pun pergi ke dokter

Belum ada seorang pun di ruang tunggu

Beberapa bangku panjang yang kosong

Tak juga mengundangnya duduk

Ia pun mondar – mandir saja

Menunggu dokter memanggilnya

Namun mendadak seperti didengarnya

Suara yang sangat lirih

Dari kamar periksa

Ada yang sedang menyanyikan

Beberapa ayat kitab suci

Yang sudah sangat dikenalnya

Tapi ia seperti takut mengikutinya

Seperti sudah lupa yang mana

Mungkin karena ia masih ingin

Sembuh dari sakitnya


Terbaring


Kalau aku terbaring sakit seperti ini

Suka kubayangkan ada selembar daun tua

Kena angin dan lepas dari tangkainya

Melayang ke sana dan kemari tanpa tenaga

 

Klau aku terbaring sakit seperti ini

Suka kubayangkan kalian nun di Bukit sana

Berebut menangkap daun yang melayang – layang itu

Dan penuh rindu menciumnya berulang kali

 

 

Tiga Sajak Kecil

 

/I/

 Pada suatu pagi hari

Seorang gadis kecil

Mengendarai selembar daun

Meniti berkas – berkas cahaya.

 

“Mau ke mana, Wuk?”

“Ke selatan situ.”

“Mau apa, Wuk?”

“Menangkap kupu – kupu.”

 

/II/

 

Pada suatu siang hari

Seorang gadis kecil

Belajar menggunting kertas,

Gorden, dan taplak meja:

 

“Guntingan – guntingan ini

Indah sekali, akan kujahit

Jadi perca merah, hijau, dan biru

Bahan baju untuk Ibu.”

 

/III/

 

Pada suatu malam hari

Seorang gadis kecil

Menolong ibunya membaca cerita

Nina bobok sebelum tidur:

 

“Malam ini Puteri Salju,

Kemarin Bawang Putih,

Besok Sinderela, ya Bu

Biar Pangeran datang menjemputku.”

 

 Layang – Layang

 

Layang – layang barulah layang – layang jika ada angin

Memainkannya. Sementara pada benang panjang,

Ia tak boleh diam menggeleng ke kiri dan ke kanan,

Menukik, menyambar, atau menghindar dari layang – layang lain

 

Sejak membuatnya dari kertas tipis dan potongan bambu,

Anak – anak itu telah menjajikan pertemuannya dengan angin,

“Kita akan panggil angin Barat, bukan badai atau petir.

Kita akan minta kambing mengembik, kuda meringkik,

Dan sapi melenguh agar angin meniupkan gerak – gerikmu

Mengatur tegang kendurnya benang itu. “ Sejak itu

Ia tak habis – habisnya  menganggumi angin, terutama ketika

Siang, melandai dan aroma sore tercium di atas kota kecil itu.

 

Dari angkasa disaksikannya, kelak – kelok anak sungai,

Pohon – pohon jambu, asam jawa, bunga sepatu, lamtara,

Gang – gang kecil, orang – orang menimba di sumur tua,

Dan satu dua sepeda melintas di jalan raya.

 

Ia suka gemas pada angin. Ia telah menghayati sentuhan,

Terpaan, dan bantingannya: mungkin itu tanda

Bahwa, ia telah mencintainya. Ia barulah layang – layang jika

Melayang, meski ia tak berhak membayangkan angin.

 

Rumah Oom Yos (Untuk Mas Gondo)

 

Di leteng bukit, rumah itu indah sekali

Pekarangannya, beberapa ribu meter persegi

 

Dan serambi depan dapat disaksikan

Matahari pagi menggiring kabut ke perbukitan

 

Dari serambi belakang: butir – butir embun

Jalanan menanjak jalanan menurun

 

Ruang dan kamarnya minta ampun besarnya

Penuh barang antik: cermin – cermin tua

 

Keramik, perabotan, sekat – sekat ruangan

Lampu gantung entah dari zaman kapan

 

Kepala harimau dan kijang di dinding – dindingnya

Jam burung dan patung – patung Eropa

 

Diluar membentang hamparan rumput

Awas, jalan setapak itu agak berlumut

 

Sebelah sana kebun  bunga aneka rupa

Ada mawar, tentu saja, dan anggrek langka

 

Dekat jalan berliku – liku disebelah sana

Ditanam ibu jalar, ditanam jagung pula

 

Kadang kami suka mendapat rejeki

Dikirimi jagung manis dan ubi

 

Kalau si empunya kebetulan mampir

Ke rumahnya sendiri, istilahnya: parkir

 

Ya, ia memang jarang pulang ke mari

Dalam setahun hanya beberapa hari

 

Soalnya, ia punya apartemen di Singapura

Di LA dan entah dimana di Eropa

 

Tapi konon ia lebih sering di Hongkong

Jalan – jalan atau sekedar nongkrong

 

Anak cucunya pun tak punya waktu lagi

Mengurus rumah yang astagfirullah ini

 

Sebab sangat amat sibuk sekali

Dengan bisnis mereka sendiri – sendiri

 

Di rumah ini sepanjang tahun

Ada belasan pembantu dan tukang kebun

 

Yang sudah menyatu dengan aneka unggas

Di dalam sangkar, menatap ke alam bebas

 

Ayat – Ayat Tokyo

 

/I/

 

Angin memahatkan 3 patah kata

Di kelopak sakura

Ada yang diam – diam membacanya

 

/II/

 

Ada kuntum melayang jatuh

Air tergelincir dari payung itu:

“Kita bergegas,” katanya

 

/III/

 

Kita pandang daun bermunculan

Kita pandang bunga berguguran

Kita diam: berpandangan

 

/IV/

 

Kemarin tak berpangkal, besok tak berujung

Tak tahu mesti kemana

Angin menyambar bunga gugur itu

 

/V/

 

Lengking sakura

Tapi angin tuli

Dan langit buta

 

/VI/

 

Menjelma burung gereja

Menghirup langit dalam – dalam

Angin musim semi

 

Ayat – Ayat Kyoto

 

/I/

 

Segala yang mendidih dalam kepala

Tidak nyata, kecuali sakura

Dan kau tentu saja

 

/II/

Gerimis musim semi

Tengkorakku retak:

Kau pun menetes – netes ke otak

 

/III/

 

Kita sakura

Gugur sebelum musim selesai

Tak terlacak pula

 

 

Sajak

 

“Biar kunyalakan lampu, agar tampak jelas

Dimana pintu, tempat aku bebas keluar masuk

Aku laki – laki, kau tahu, tak tentram dalam gelap

 

Perempuan itu diam: mungkin ia lebih suka

Menebak – nebak saja apakah yang nafasnya sengit

Dan keringatnya anyir itu Arjuna dan Rahwana

 

Pertanyaan Kerikil Yang Goblok

 

“Kenapa aku berada disini!”

Tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja

Dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki,

Merontokkan beberapa lembar daun mangga,

Menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat,

Dan sejenak membuat lengkungan yang indah

Di udara, lalu jatuh di jalan raya

Tepat ketika ada truk lewat disana.

Kini ia terjepit di sela – sela kembang badan malah bertanya kenapa:

Ada saatnya nanti, entah kapan dan dimana,

Ia dicungkil oleh si kenek sambil berkata,

“Menganggu saja!”


Dongeng Kucing

 

Lengking klakson dan rem mobil itu

Meninggalkan jejak asap knalpot, debu

Dan seekor kuncing yang sekarang.

 

Di dalam rumah: tangis seorang gadis kecil,

Lalu suara menghibur seorang ibu

Menyeledupkan ajal ke negeri dongeng

 

Jalan memang dibangun untuk mobil,

Manusia, dan juga tentu saja kucing:

Tak boleh kita mencurigai campur tangan Mu,bukan?

 

Tukang Kebun

 

Setelah beberapa kali ketukan,

Pintu kubuka: rupanya ada tamu

Yang, katanya, menjemputku sore hari ini.

Apakah akau sudah pernah mengenalnya.

 

Waktu kutanyakan pergi kemana,

Jawabnya ringkas “ kesana, ke samudra, raya!”

Ditunjukkannya pula rajah di lengannya:

Gambar jangkar, tengkorak, dan kata tak terbaca

 

Aku ini tukang kebun tua yang lahir dan dibesarkan

Di pedalaman, sepanjang hidup hanya belajar

Menghayati rumput, pohon, dan tanah basah,

Mengurus pagar dan membersihkan rumah.

 

Aku tak mampu apa dan bagaimana lagi.

Pandanganku tinggal sejengkal.

Dan telingaku? Suaraku sendiri pun tak dikenal.

Tamu itu membelalak ketika kupersilakan duduk.

 

Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan padanya

Siapa gerangan yang telah mengutusnya.

 

 Pada Suatu Magrib

 

Susah benar menyebrang jalan di Jakarta ini:

Hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib.

Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,

Astagfiruallah! Rasanya di mana – mana ajal mengintip

 

Jakarta Juli 1996

 

Katamu kemarin telah terjadi

Ribut – ribut disini

Sisa – sisa pidato, yel, teriakan,

Umpatan, rintihan, derum truk,

Semprotan air, dan tembakan

Masih terekam lirih sekali di got

Dan selokan yang mampet.

Aku seperti mengenali suaramu

Di sela –sela ribut – ribut yang lirih itu,

Tapi sungguh mati aku tak tahu

Kau ini sebenarnya sang pemburu

Atau hewan yang luka itu

 

Dalam Setiap Diri Kita

 

Dalam setiap diri kita, berjaga – jaga

Segerombolan serigala.

Di ujung kampung, lewat pengeras suara,

Para kyai menanyai setiap selokan,

Setiap lubang di tengah jalan,

Dan di setiap tikungan:

Para pendeta menghardik setiap pagar,

Setiap pintu yang terbuka,

Dan di setiap pekarangan.

Gamelan jadi langka. Di keramaian kota

Kita mencari burung – burung

Yang diusir dari perbukitan

Dan suka bertengger sepanjang kabel  listrik,

Yang mendadak lenyap begitu saja

Sejak sering terdengar

Suara senapan angin orang  - orang berseragam itu

Entah kena sawan apa, rombongan sulap itu

Membakar kota sebagai permainannya

 

 

Sebelum Fajar

 

Beberapa saat sebelum fajar,

Sambil buru – buru menyalakan api,

Kita suka membayangkan hari ini

Dengan dua atau tiga patah kata

Yang tak pernah terucapkan,

Sementara anak – anak masih lelap tidur

Di mata mereka yang tertutup

Dua atau tiga patah kata itu

Bersitahan sabar

Menunggu matahari, bukan api.

 

Buku Cerita Anak (Untuk Riris)

 

Ketika kami sibuk memperkosa perempuan – perempuan itu

Dalam buku cerita para kurcaci sedang berdebar menyaksikan

Sang pangeran mencium kening Putri Tidur

Kobaran api itu melepaskan isyarat yang tak ada lagi kuncinya

 

Sonet: Entah Sejak Kapan

 

Entah sejak kapan kita suka gugup

Di antara frasa – frasa pongah

Di kain rentang yang berlubang – lubang

Sepanjang jalan raya itu: berhimpitan

 

Di antara kata – kata kasar yang desak – mendesak

Di kain rentang yang di tiup angin,

Yang diikat di antara batang pohon

Dan tiang listrik itu: kita tergencer di sela – sela

 

Huruf – huruf kaku yang tindih – mendidih

Di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan

Yang tanpa lampu lalu lintas itu. Telah sejak lama,

Rupanya kita suka membayangkan diri kita

 

Menjelma kain rentang koyak – mengoyak itu, sebisanya

Bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin.

 

Sajak – Sajak Kecil Tentang Cinta

 

 

/I/

Mecintai angin

Harus menjadi siut

Mencintai air

Harus menjadi ricik

Mencintai gunung

Harus menjadi terjal

Mencintai api

Harus menjadi jilat

 

/II/

 

Mencintai cakrawala

Harus menebas jarak

 

/III/

 

Mencintai mu

Harus menjelma aku

 

Ia Tak Pernah

 

Ia tak pernah berjanji kepada pohon

Untuk menerjemahkan burung

Menjadi api

 

Ia tak pernah berjanji kepada burung

Untuk menyihir api

Menjadi pohon

 

Ia tak pernah berjanji kepada api

Untuk mengembalikan pohon

Kepada burung


Tentu, Kau Boleh

 

Tentu. Kau boleh saja masuk,

Masih ada ruang

Di sela – sela butir darahku,

Tak hanya ketiak rumahku sepi.

Angin hanya menyentuh gorden,

Laba – laba menganyam jaring,

Terdengar tetes air keran

Yang tak ditutup rapat:

Dan dijalan

Sama sekali tak ada orang

Atau kendaraan lewat.

Tapi juga ketika turun hujan,

Air tempias lewat lubang angin,

Selokan ribut dan meluap ke pekarangan,

Genting bocor dan aku capek

Menggulung kasur dan mengepel lantai

Tentu. Kau boleh mengalir

Di sela – sela butir darahku,

Keluar masuk dinding – dinding jantungku,

Menyapa setiap sel tubuhku.

Tetapi jangan sekali – kali

Pura – pura bertanya kapan boleh pergi

Atau seenaknya melupakan percintaan ini

Sampai huruf terakhir

Sajak ini, kau lah yang harus

Bertanggung jawab

 Atas air mataku

 

Pohon Di Tepi Jalan

 

Pohon, yang biasa di siram dan dua kali sehari

Yang berdiri sejajar tiang listrik di tepi jalan itu.

Tak bosan – bosannya menggoda mobil tua

Yang merayap di aspal yang suka meleleh

 

Di bawah matahari pohon, yang sudah lupa

Asal – usulnya, suka menghirup asal knalpot

Dan menyebutnya kekasih, sumber kehidup kota:

Kita tak pernah sempat memahami kelakar mereka

 

Sonet: Kau Bertanya Apa (Untuk Wing Kardjo)

 

Kau bertanya apa masih ada harapan. Mungkin masih,

Di luar kata. Di dalam kata terdengar tak putus – putusnya

Suara orang berkhotbah, berceramah, dan berselisih.

Sementara kita mengemis, mencuri, berebut jatah.

 

Menjarah, atau menjadi gila: sementara kita menyaksikan

Rumah – rumah terbakar, jaringan telepon putus,

Pohon – pohon tumbang di dalam kata masih saja

Setiap aksara dipertanyakan asal – usulnya, setiap desis

 

Di susut keterlibatan maknanya. Konon, dulu,

Didalam kata pernah terdengar desau gerimis kecil,

Cericit anak – anak burung, siut daun jatuh,

Dan langkah kabut pagi. Konon, dulu, pernah terdengar kita

 

Saling berbisik. Kau bertanya apa masih ada harapan.

Ada yang menunggu kita diluar kata, mudah – mudahan.

 

Kata 1

 

 

Matahari, yang akhir – akhir ini jarang sekali kau perhatikan,

Pagi ini menerobos celah – celah jendela kamar sampai ke wajahmu.

“ Jam berapa ini?” sudah pagi. Masih juga belum kau temukan,

Kata sambung itu. Kau kenal betul setiap kata yang ada

Dalm kamus itu, karena ikut menyusunnya dulu: yang

Karena, dari atas, terhadap tetapi bukan semua itu.

 

Akhirnya kau perhatikan juga matahari itu, dan kau seperti

Bertanya sejak kapan ia berada disana, sejak kapan ia

Seperti suka menyalah – nyalahkan kita, sejak kapan ia

Menyebabkan kau bertanya, “jam berapa ini?”

Masalahnya, belum juga kau temukan kata sambung itu.

Apakah kami berhak mengatakan padamu, “ Sudahlah!”?

 

Kata 2

 

“Ada sepatah kata  bergerak kesana ke mari jauh dalam dirimu:

Biarkan saja, ia tak punya bahasa.”

 

Tapi ia suka membangunkanku

 

“Biarkan saja. Ia toh ahirnya akan menyadari bahwa bukan

Yang kau cari, dan akan mengembara lagi jauh dalam

Dirimu jika kau terjaga dan tenang kembali.”

Tapi aku tak bisa lagi terjaga

 

Pokok Kayu

 

“suara angin di rumpun bambu

Dan suara kapak di pokok kayu,

Adakah bedanya. Saudaraku?”

 

“jangan menganggu,” hardik seekor tempua

Yang sedang megerami telur – telurnya

Di kusut rambu Nuh yang sangat purba

 

Ada Pohon Bernapas

 

Ada pohon bernapas jauh dalam diri kita

Di setiap helannya seratus burung pulang

Mendengar cericit anak – anaknya

 

Ada pohon bernapas jauh dalam diri kita

Di setiap hembusannya seratus warna bunga

Berhamburan menyambut godaan cahaya

 

Akik

 

Sela sebutir batu akik di letakkan

Perlahan – lahan, sangat hati – hati, di hatimu

 

Ia sangat tua dan berbintik – bintik hitam

Mengkilap setelah puluhan tahun di upam

 

Ia ingin seperti layang – layang, tinggi – tinggi

Lalu putus dan diperebutkan anak – anak itu

 

Ingin menjadi surat yang dikirim

Ke sebuah rumah yang tak begitu jelas alamatnya

 

Tapi ia sebutir batu akik yang diletakkan

Perlahan – lahan. Sangat hati – hati, di hatimu

 

 

 Ayat – Ayat Api

 

/I/

 

Mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan

 

Dimana gerangan kemarau, yang malamnya dingin

Yang langitnya bersih: yang siangnya menawarkan

Bunga randu alas dan kembang celung, yang dijemput angin

Di bukit – bukit, yang tidak mudah tersinggung

 

Yang lebih suka menunggu sampai penghujan

Dengan ikhlas meninggalkan kampung – kampung

(di usir kerumunan bunga dan kawanan burung)

 

Di mana gerangan kemarau, yang senantiasa dahaga

Yang suka menggemaskan, yang dirindukan penghujan

 

/II/

 

Wislama Szymborska

 

Seorang anak laki – laki

Menoleh ke kiri dan ke kanan

Lalu cepat – cepat menyelinap

Dalam kerumunan itu

Dan tidak kembali

 

Tiga orang lelaki separo baya

Bergegas menyusulnya

Dan tidak kembali

 

Lima enam tujuh orang perempuan

Meledak bersama dalam api

Dan, tentu saja,

Tidak kembali

 

Agak ke sebelah sana

Di seberang jalan

Seorang penjual rokok

Membayangkan dirinya duduk

Di depan pesawat televisi

Takjub menyaksikan

Sulapan itu

/III/

 

Ada seorang perempuan

Diam saja berdiri

Di dekat tukang rokok

Di seberang jalan raya itu

 

Ada satpam memperhatikannua

Dari ujung gang itu

Ada polisi sekilas melihatnya

Dari dekat gardu telepon itu

Ada anak tetangga sebelah

Menyapanya

Ada guru sd

Yang masih mengenalnya

Menepuk bahunya

Ada neneknya di rumah

Yang sudah aku lupa

 

Ada sumainya ada anak – anaknya

(yang mungkin saja sedang memikirkannya juga)

Yang kini (tentunya mungkin moga – moga saja tidak!)

 

Berada dalam sebuah toko besar

(atau tidak lagi bisa) yang sedang terbakar

 

/V/

 

“Entah kenapa, pagi ini,

Seluruh tubuhku terasa gemetar,

Tida seperti biasaya. Dulu

Kau pernah berkata,

Kita ini bagai daun tua

Gemetar sebelum disapu angin

Gemetar karena menguji diri sendiri

Apakah masih kuat bertahan

Di dahan

Sebelum agin terakhir

Sebelum siang terakhir

Sebelum tik - tok terakhir

Tapi sudahlah,

Aku toh harus juga ke kantor

Sehabis tetek – bengek pagoo: segelas kopi:

Setangkep roti.

Hari ini

Akan mendung tanpa hujan,

Kata ramalan cuaca.

Aku akn pulang cepat nanti

Sebelum makan malam.”

 

Tapi tukang sulap, entah kenapa

Ternyata punya kehendak lain

 

/V/

 

Di antara yang meretas dalam kepala kita

Dan api yang berkobar di seberang jalan

Melandai beberapa patah sabda

 

Di antara yang di kepala, yang berkobar, dan sabda

Bergetar ayat – ayat yang kita hapal lafaznya

Yang hanya bisa kita tafsir – tafsirkan maknanya

 

/VI

 

Ada yang menghitung waktu api

Dengan bunyi – bunyi aneh

Seperti yang kita dengar

Ketika masih dalam rahim ibu

 

Ada yang menghitung jam api

Dengan isyarat – isyarat ganjil

Seperti yang pernah kita kenal

Ketika masih dalam kobaran itu

 

Ada yang menghitung detik api

Dengan kedap – kedip pelik

Seperti yang pernah mereka lihat

Ketika orang – orang memakamkan kita

 

/VII/

 

Gambar – gambar

Di koran hari ini

Godaan

Bagi kita

 

Untuk tetap

Menyisakan

Aneka

Kata seru

 

/VIII/

 

Di atap rumah seberang jalan

Seekor burung gereja mengibas -  ngibaskan

Sayapnya sehabis geremis

Di pagi (yang bagai mata kena jeruk) itu

 

Kelopak air berguguran ke sana ke mari

Sementara di sudut atas gedung itu

Di seberang sana, dibekas sarangnya

Asap sisa api kemarin masih juga

 

/IX/

 

Api adalah lambang kehidupan

Itu sebabnya ia tak bisa

Menjadi fosil

 

Api adalah lambang kehidupan

Itu sebabnya kita luluh lantak

Dalam kobarannya

 

/X/

 

Sore itu akhirnya berubah juga

Menjad abu sepenuhnya

Sebelum sempat menyadari

Bahwa ternyata ada saat untuk istirahat

 

Di antara gundukan – gundukan

Yang sulit di pilah – pilahkan

Ah, untuk apa pula

Toh segera diterbangkan angin selagi hangat

 

/XI/

 

Di akhir jalan panjang itu

Tertera pertanyaan

“Apa yang masih tersisa dari tubuhmu”

 

Isi saja “tak ada”

Tapi, o ya, mungkin kenangan

Yang tentu juga sia – sia bertahan

 

/XII/

 

Ia akhirnya menerima perannya

Sebagai tokoh khlayali: digeser kesana

Ke mari: di halaman koran, di layar televisi,

Dan sulapan bunyi – bunyian di radio:

 

Ia pun harus pandai – pandai

Menempatkan dirinya dalam deretan

Gagasan, peristiwa, dan benda

Yang harus segera kita lupakan

 

/XIII/

 

Kau tak berhak mengingat apa – apa lagi

Dekat perbatasan kau rogoh ktp mu tapi untuk apa pula

 

Kau akan menyeberangi kenyataan terakhir

Sesudah bentukmu diubah sama sekali

 

Kau tak lagi memerlukan apa pun: sisir, sepatu,

Pakaian seragam, bahkan ingatan akan penyeberangan ini

 

Duduklah baik – baik, kau tak berhak mondar – mandir lagi

Tak berhak punya masud apa pun: ini bukan lakon Anoman Obong

 

/XIV/

 

Kami memang sangat banyak

Astagfiruallah

 

Menumpuk di dekat sampah

Tak sempat diangkut

 

Tergoda minyak

Habis terbakar

 

Kami memang sangat banyak

Astagfiruallah

 

/XV/

 

Waktu upacara hampir usai kau tak ingat

Bahwa kuburan di kampung sudah penuh

 

Mungkin satu – satunya basa – basi yang tersisa

Adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami

 

(1998 - 1999)

 

Read Here: