Ayat Nol (Ruang Ini)
/II/
Pada suatu hari
Sebuah cahaya
Yang sangat terang
Berniat mencari sumbernya.
Setelah menempuh hutan,
Menyusur sungai,
Mendaki gunung,
Dan meluncur di padang salju
Sampailah ia
Ke sebuah padang pasir.
Suatu bayang – bayang
Yang sangat panjang,
dan sangat hitam, menyambutnya,
“Aku sumbermu, katanya.
Letih dan lelah, tokoh kita
Si cahaya terang itu
Berhenti dan berkata ya saja,
Meskipun ia curiga
Bagaimana bisa di pasang pasir
Yang begitu luas dan rata
Dan tak ada sosok apapun itu
Bisa tercipta bayang - bayang
/III/
Ketika bangun pagi ini,
Kudapati cahaya kecil,
Sisa semalam,
Bersembunyi di sudut kamar ku,
Aku hampir tidak mengenalinya
Sampai ketika aku hampir keluar kamar
Ia berkata, “Tutup lembali
Pintu itu, cepat,
Aku tak tahan meghadapi
Cahaya di luar itu!”
Tentu saja.
Sumber mereka berbeda,
Pikirku.
“Siapa bilang begitu!”
Hardik cahaya diluar
Yang menyilaukan itu.
Dingin malam memang tak pernah mau
Menegurmu, dan membairkanmu telanjang:
Berdiri saja ia disudut itu
Dan membentakku, “Ia hanya bayang –
bayang.”
“Bukan, ia tulang rusukku,” sahutku
Sambil menyaksikannya mendadak menyebar
Ke seluruh kamar yang tersisa tinggal
abu
Sesudah kita berdua habis terbakar
Adam Dan Hawa
Biru langit
Menjadi sangat dalam
Awan menjelma burung
Berkas – berkas cahaya
Sibuk jalin – menjalin
Tanpa pola
Angin tersesat
Di antara sulur pepohonan
Di hutan
Ketika Adam
Tiba – tiba saja
Melepaskan diri
Dari pelukan perempuan itu
Dan susah – payah
Berdiri, berkata
“Kau ternyata
Bukan perawan lagi
Lalu siapa gerangan
Yang telah
Lebih dahulu
Menidurimu?”
Memancing
Baru kecil yang tadi iseng kau
lemparkan
Ke dalam kolam pemancingan itu
Mendadak sadar dan membayangkan dirinya
ikan
Yang menyambar – nyambar mata kailmu
Tapi batu kecil memang bukan ikan
Dan kailmu tidak dirancang untuk batu
itu
Tapi kenapa kau suka iseng melempar – lemparkan
Sehingga batu itu mendambakan kailmu
Batu itu, murung, ada di dasar kolam
sekarang
Di sekitarnya ikan – ikan tak acuh
berseliweran
Sementara kailmu terpencil begoyang –
goyang
Di tepi kolam kau terkantuk – kantuk sendirian
Ruang Tunggu
Ada yang terasa sakit
Di pusat perutnya
Ia pun pergi ke dokter
Belum ada seorang pun di ruang tunggu
Beberapa bangku panjang yang kosong
Tak juga mengundangnya duduk
Ia pun mondar – mandir saja
Menunggu dokter memanggilnya
Namun mendadak seperti didengarnya
Suara yang sangat lirih
Dari kamar periksa
Ada yang sedang menyanyikan
Beberapa ayat kitab suci
Yang sudah sangat dikenalnya
Tapi ia seperti takut mengikutinya
Seperti sudah lupa yang mana
Mungkin karena ia masih ingin
Sembuh dari sakitnya
Terbaring
Kalau aku terbaring sakit seperti ini
Suka kubayangkan ada selembar daun tua
Kena angin dan lepas dari tangkainya
Melayang ke sana dan kemari tanpa
tenaga
Klau aku terbaring sakit seperti ini
Suka kubayangkan kalian nun di Bukit
sana
Berebut menangkap daun yang melayang –
layang itu
Dan penuh rindu menciumnya berulang
kali
Tiga Sajak Kecil
/I/
Pada suatu pagi hari
Seorang gadis kecil
Mengendarai selembar daun
Meniti berkas – berkas cahaya.
“Mau ke mana, Wuk?”
“Ke selatan situ.”
“Mau apa, Wuk?”
“Menangkap kupu – kupu.”
/II/
Pada suatu siang hari
Seorang gadis kecil
Belajar menggunting kertas,
Gorden, dan taplak meja:
“Guntingan – guntingan ini
Indah sekali, akan kujahit
Jadi perca merah, hijau, dan biru
Bahan baju untuk Ibu.”
/III/
Pada suatu malam hari
Seorang gadis kecil
Menolong ibunya membaca cerita
Nina bobok sebelum tidur:
“Malam ini Puteri Salju,
Kemarin Bawang Putih,
Besok Sinderela, ya Bu
Biar Pangeran datang menjemputku.”
Layang – layang barulah layang – layang
jika ada angin
Memainkannya. Sementara pada benang
panjang,
Ia tak boleh diam menggeleng ke kiri
dan ke kanan,
Menukik, menyambar, atau menghindar
dari layang – layang lain
Sejak membuatnya dari kertas tipis dan
potongan bambu,
Anak – anak itu telah menjajikan pertemuannya
dengan angin,
“Kita akan panggil angin Barat, bukan
badai atau petir.
Kita akan minta kambing mengembik, kuda
meringkik,
Dan sapi melenguh agar angin meniupkan
gerak – gerikmu
Mengatur tegang kendurnya benang itu. “
Sejak itu
Ia tak habis – habisnya menganggumi angin, terutama ketika
Siang, melandai dan aroma sore tercium
di atas kota kecil itu.
Dari angkasa disaksikannya, kelak –
kelok anak sungai,
Pohon – pohon jambu, asam jawa, bunga
sepatu, lamtara,
Gang – gang kecil, orang – orang menimba
di sumur tua,
Dan satu dua sepeda melintas di jalan
raya.
Ia suka gemas pada angin. Ia telah
menghayati sentuhan,
Terpaan, dan bantingannya: mungkin itu
tanda
Bahwa, ia telah mencintainya. Ia
barulah layang – layang jika
Melayang, meski ia tak berhak
membayangkan angin.
Rumah Oom Yos (Untuk Mas Gondo)
Di leteng bukit, rumah itu indah sekali
Pekarangannya, beberapa ribu meter persegi
Dan serambi depan dapat disaksikan
Matahari pagi menggiring kabut ke perbukitan
Dari serambi belakang: butir – butir embun
Jalanan menanjak jalanan menurun
Ruang dan kamarnya minta ampun besarnya
Penuh barang antik: cermin – cermin tua
Keramik, perabotan, sekat – sekat ruangan
Lampu gantung entah dari zaman kapan
Kepala harimau dan kijang di dinding –
dindingnya
Jam burung dan patung – patung Eropa
Diluar membentang hamparan rumput
Awas, jalan setapak itu agak berlumut
Sebelah sana kebun bunga aneka rupa
Ada mawar, tentu saja, dan anggrek
langka
Dekat jalan berliku – liku disebelah
sana
Ditanam ibu jalar, ditanam jagung pula
Kadang kami suka mendapat rejeki
Dikirimi jagung manis dan ubi
Kalau si empunya kebetulan mampir
Ke rumahnya sendiri, istilahnya: parkir
Ya, ia memang jarang pulang ke mari
Dalam setahun hanya beberapa hari
Soalnya, ia punya apartemen di
Singapura
Di LA dan entah dimana di Eropa
Tapi konon ia lebih sering di Hongkong
Jalan – jalan atau sekedar nongkrong
Anak cucunya pun tak punya waktu lagi
Mengurus rumah yang astagfirullah ini
Sebab sangat amat sibuk sekali
Dengan bisnis mereka sendiri – sendiri
Di rumah ini sepanjang tahun
Ada belasan pembantu dan tukang kebun
Yang sudah menyatu dengan aneka unggas
Di dalam sangkar, menatap ke alam bebas
Ayat – Ayat Tokyo
/I/
Angin memahatkan 3 patah kata
Di kelopak sakura
Ada yang diam – diam membacanya
/II/
Ada kuntum melayang jatuh
Air tergelincir dari payung itu:
“Kita bergegas,” katanya
/III/
Kita pandang daun bermunculan
Kita pandang bunga berguguran
Kita diam: berpandangan
/IV/
Kemarin tak berpangkal, besok tak
berujung
Tak tahu mesti kemana
Angin menyambar bunga gugur itu
/V/
Lengking sakura
Tapi angin tuli
Dan langit buta
/VI/
Menjelma burung gereja
Menghirup langit dalam – dalam
Angin musim semi
Ayat – Ayat Kyoto
/I/
Segala yang mendidih dalam kepala
Tidak nyata, kecuali sakura
Dan kau tentu saja
/II/
Gerimis musim semi
Tengkorakku retak:
Kau pun menetes – netes ke otak
/III/
Kita sakura
Gugur sebelum musim selesai
Tak terlacak pula
Sajak
“Biar kunyalakan lampu, agar tampak jelas
Dimana pintu, tempat aku bebas keluar
masuk
Aku laki – laki, kau tahu, tak tentram
dalam gelap
Perempuan itu diam: mungkin ia lebih suka
Menebak – nebak saja apakah yang
nafasnya sengit
Dan keringatnya anyir itu Arjuna dan
Rahwana
Pertanyaan Kerikil Yang Goblok
“Kenapa aku berada disini!”
Tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru
saja
Dilontarkan dari ketapel seorang anak
lelaki,
Merontokkan beberapa lembar daun mangga,
Menyerempet ujung ekor balam yang
terperanjat,
Dan sejenak membuat lengkungan yang
indah
Di udara, lalu jatuh di jalan raya
Tepat ketika ada truk lewat disana.
Kini ia terjepit di sela – sela kembang
badan malah bertanya kenapa:
Ada saatnya nanti, entah kapan dan
dimana,
Ia dicungkil oleh si kenek sambil
berkata,
“Menganggu saja!”
Dongeng Kucing
Lengking klakson dan rem mobil itu
Meninggalkan jejak asap knalpot,
debu
Dan seekor kuncing yang sekarang.
Di dalam rumah: tangis seorang gadis
kecil,
Lalu suara menghibur seorang ibu
Menyeledupkan ajal ke negeri dongeng
Jalan memang dibangun untuk mobil,
Manusia, dan juga tentu saja kucing:
Tak boleh kita mencurigai campur
tangan Mu,bukan?
Tukang Kebun
Setelah beberapa kali ketukan,
Pintu kubuka: rupanya ada tamu
Yang, katanya, menjemputku sore hari
ini.
Apakah akau sudah pernah
mengenalnya.
Waktu kutanyakan pergi kemana,
Jawabnya ringkas “ kesana, ke samudra,
raya!”
Ditunjukkannya pula rajah di
lengannya:
Gambar jangkar, tengkorak, dan kata
tak terbaca
Aku ini tukang kebun tua yang lahir
dan dibesarkan
Di pedalaman, sepanjang hidup hanya
belajar
Menghayati rumput, pohon, dan tanah
basah,
Mengurus pagar dan membersihkan
rumah.
Aku tak mampu apa dan bagaimana lagi.
Pandanganku tinggal sejengkal.
Dan telingaku? Suaraku sendiri pun
tak dikenal.
Tamu itu membelalak ketika
kupersilakan duduk.
Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan
padanya
Siapa gerangan yang telah
mengutusnya.
Susah benar menyebrang jalan di
Jakarta ini:
Hari hampir magrib, hujan membuat
segalanya tak tertib.
Dan dalam usia yang hampir enam
puluh ini,
Astagfiruallah! Rasanya di mana –
mana ajal mengintip
Jakarta Juli 1996
Katamu kemarin telah terjadi
Ribut – ribut disini
Sisa – sisa pidato, yel, teriakan,
Umpatan, rintihan, derum truk,
Semprotan air, dan tembakan
Masih terekam lirih sekali di got
Dan selokan yang mampet.
Aku seperti mengenali suaramu
Di sela –sela ribut – ribut yang
lirih itu,
Tapi sungguh mati aku tak tahu
Kau ini sebenarnya sang pemburu
Atau hewan yang luka itu
Dalam Setiap Diri Kita
Dalam setiap diri kita, berjaga –
jaga
Segerombolan serigala.
Di ujung kampung, lewat pengeras
suara,
Para kyai menanyai setiap selokan,
Setiap lubang di tengah jalan,
Dan di setiap tikungan:
Para pendeta menghardik setiap
pagar,
Setiap pintu yang terbuka,
Dan di setiap pekarangan.
Gamelan jadi langka. Di keramaian
kota
Kita mencari burung – burung
Yang diusir dari perbukitan
Dan suka bertengger sepanjang
kabel listrik,
Yang mendadak lenyap begitu saja
Sejak sering terdengar
Suara senapan angin orang - orang berseragam itu
Entah kena sawan apa, rombongan
sulap itu
Membakar kota sebagai permainannya
Sebelum Fajar
Beberapa saat sebelum fajar,
Sambil buru – buru menyalakan api,
Kita suka membayangkan hari ini
Dengan dua atau tiga patah kata
Yang tak pernah terucapkan,
Sementara anak – anak masih lelap
tidur
Di mata mereka yang tertutup
Dua atau tiga patah kata itu
Bersitahan sabar
Menunggu matahari, bukan api.
Buku Cerita Anak (Untuk Riris)
Ketika kami sibuk memperkosa
perempuan – perempuan itu
Dalam buku cerita para kurcaci
sedang berdebar menyaksikan
Sang pangeran mencium kening Putri
Tidur
Kobaran api itu melepaskan isyarat
yang tak ada lagi kuncinya
Sonet: Entah Sejak Kapan
Entah sejak kapan kita suka gugup
Di antara frasa – frasa pongah
Di kain rentang yang berlubang –
lubang
Sepanjang jalan raya itu:
berhimpitan
Di antara kata – kata kasar yang
desak – mendesak
Di kain rentang yang di tiup angin,
Yang diikat di antara batang pohon
Dan tiang listrik itu: kita
tergencer di sela – sela
Huruf – huruf kaku yang tindih –
mendidih
Di kain rentang yang berjuntai di perempatan
jalan
Yang tanpa lampu lalu lintas itu.
Telah sejak lama,
Rupanya kita suka membayangkan diri
kita
Menjelma kain rentang koyak –
mengoyak itu, sebisanya
Bertahan terhadap hujan, angin,
panas, dan dingin.
Sajak – Sajak Kecil Tentang Cinta
/I/
Mecintai angin
Harus menjadi siut
Mencintai air
Harus menjadi ricik
Mencintai gunung
Harus menjadi terjal
Mencintai api
Harus menjadi jilat
/II/
Mencintai cakrawala
Harus menebas jarak
/III/
Mencintai mu
Harus menjelma aku
Ia Tak Pernah
Ia tak pernah berjanji kepada pohon
Untuk menerjemahkan burung
Menjadi api
Ia tak pernah berjanji kepada burung
Untuk menyihir api
Menjadi pohon
Ia tak pernah berjanji kepada api
Untuk mengembalikan pohon
Kepada burung
Tentu, Kau Boleh
Tentu. Kau boleh saja masuk,
Masih ada ruang
Di sela – sela butir darahku,
Tak hanya ketiak rumahku sepi.
Angin hanya menyentuh gorden,
Laba – laba menganyam jaring,
Terdengar tetes air keran
Yang tak ditutup rapat:
Dan dijalan
Sama sekali tak ada orang
Atau kendaraan lewat.
Tapi juga ketika turun hujan,
Air tempias lewat lubang angin,
Selokan ribut dan meluap ke
pekarangan,
Genting bocor dan aku capek
Menggulung kasur dan mengepel lantai
Tentu. Kau boleh mengalir
Di sela – sela butir darahku,
Keluar masuk dinding – dinding jantungku,
Menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali – kali
Pura – pura bertanya kapan boleh
pergi
Atau seenaknya melupakan percintaan
ini
Sampai huruf terakhir
Sajak ini, kau lah yang harus
Bertanggung jawab
Atas air mataku
Pohon Di Tepi Jalan
Pohon, yang biasa di siram dan dua
kali sehari
Yang berdiri sejajar tiang listrik
di tepi jalan itu.
Tak bosan – bosannya menggoda mobil
tua
Yang merayap di aspal yang suka
meleleh
Di bawah matahari pohon, yang sudah
lupa
Asal – usulnya, suka menghirup asal
knalpot
Dan menyebutnya kekasih, sumber
kehidup kota:
Kita tak pernah sempat memahami
kelakar mereka
Sonet: Kau Bertanya Apa (Untuk
Wing Kardjo)
Kau bertanya apa masih ada harapan.
Mungkin masih,
Di luar kata. Di dalam kata
terdengar tak putus – putusnya
Suara orang berkhotbah, berceramah,
dan berselisih.
Sementara kita mengemis, mencuri,
berebut jatah.
Menjarah, atau menjadi gila:
sementara kita menyaksikan
Rumah – rumah terbakar, jaringan
telepon putus,
Pohon – pohon tumbang di dalam kata
masih saja
Setiap aksara dipertanyakan asal –
usulnya, setiap desis
Di susut keterlibatan maknanya. Konon,
dulu,
Didalam kata pernah terdengar desau
gerimis kecil,
Cericit anak – anak burung, siut
daun jatuh,
Dan langkah kabut pagi. Konon, dulu,
pernah terdengar kita
Saling berbisik. Kau bertanya apa
masih ada harapan.
Ada yang menunggu kita diluar kata,
mudah – mudahan.
Kata 1
Matahari, yang akhir – akhir ini
jarang sekali kau perhatikan,
Pagi ini menerobos celah – celah jendela
kamar sampai ke wajahmu.
“ Jam berapa ini?” sudah pagi. Masih
juga belum kau temukan,
Kata sambung itu. Kau kenal betul
setiap kata yang ada
Dalm kamus itu, karena ikut
menyusunnya dulu: yang
Karena, dari atas, terhadap tetapi
bukan semua itu.
Akhirnya kau perhatikan juga
matahari itu, dan kau seperti
Bertanya sejak kapan ia berada
disana, sejak kapan ia
Seperti suka menyalah – nyalahkan kita,
sejak kapan ia
Menyebabkan kau bertanya, “jam
berapa ini?”
Masalahnya, belum juga kau temukan
kata sambung itu.
Apakah kami berhak mengatakan
padamu, “ Sudahlah!”?
Kata 2
“Ada sepatah kata bergerak kesana ke mari jauh dalam dirimu:
Biarkan saja, ia tak punya bahasa.”
Tapi ia suka membangunkanku
“Biarkan saja. Ia toh ahirnya akan menyadari
bahwa bukan
Yang kau cari, dan akan mengembara
lagi jauh dalam
Dirimu jika kau terjaga dan tenang
kembali.”
Tapi aku tak bisa lagi terjaga
Pokok Kayu
“suara angin di rumpun bambu
Dan suara kapak di pokok kayu,
Adakah bedanya. Saudaraku?”
“jangan menganggu,” hardik seekor
tempua
Yang sedang megerami telur –
telurnya
Di kusut rambu Nuh yang sangat purba
Ada Pohon Bernapas
Ada pohon bernapas jauh dalam diri
kita
Di setiap helannya seratus burung
pulang
Mendengar cericit anak – anaknya
Ada pohon bernapas jauh dalam diri
kita
Di setiap hembusannya seratus warna
bunga
Berhamburan menyambut godaan cahaya
Akik
Sela sebutir batu akik di letakkan
Perlahan – lahan, sangat hati –
hati, di hatimu
Ia sangat tua dan berbintik – bintik
hitam
Mengkilap setelah puluhan tahun di
upam
Ia ingin seperti layang – layang,
tinggi – tinggi
Lalu putus dan diperebutkan anak –
anak itu
Ingin menjadi surat yang dikirim
Ke sebuah rumah yang tak begitu
jelas alamatnya
Tapi ia sebutir batu akik yang
diletakkan
Perlahan – lahan. Sangat hati –
hati, di hatimu
/I/
Mei, bulan kita itu, belum
ditinggalkan penghujan
Dimana gerangan kemarau, yang
malamnya dingin
Yang langitnya bersih: yang siangnya
menawarkan
Bunga randu alas dan kembang celung,
yang dijemput angin
Di bukit – bukit, yang tidak mudah
tersinggung
Yang lebih suka menunggu sampai
penghujan
Dengan ikhlas meninggalkan kampung –
kampung
(di usir kerumunan bunga dan kawanan
burung)
Di mana gerangan kemarau, yang
senantiasa dahaga
Yang suka menggemaskan, yang
dirindukan penghujan
/II/
Wislama Szymborska
Seorang anak laki – laki
Menoleh ke kiri dan ke kanan
Lalu cepat – cepat menyelinap
Dalam kerumunan itu
Dan tidak kembali
Tiga orang lelaki separo baya
Bergegas menyusulnya
Dan tidak kembali
Lima enam tujuh orang perempuan
Meledak bersama dalam api
Dan, tentu saja,
Tidak kembali
Agak ke sebelah sana
Di seberang jalan
Seorang penjual rokok
Membayangkan dirinya duduk
Di depan pesawat televisi
Takjub menyaksikan
Sulapan itu
/III/
Ada seorang perempuan
Diam saja berdiri
Di dekat tukang rokok
Di seberang jalan raya itu
Ada satpam memperhatikannua
Dari ujung gang itu
Ada polisi sekilas melihatnya
Dari dekat gardu telepon itu
Ada anak tetangga sebelah
Menyapanya
Ada guru sd
Yang masih mengenalnya
Menepuk bahunya
Ada neneknya di rumah
Yang sudah aku lupa
Ada sumainya ada anak – anaknya
(yang mungkin saja sedang
memikirkannya juga)
Yang kini (tentunya mungkin moga –
moga saja tidak!)
Berada dalam sebuah toko besar
(atau tidak lagi bisa) yang sedang
terbakar
/V/
“Entah kenapa, pagi ini,
Seluruh tubuhku terasa gemetar,
Tida seperti biasaya. Dulu
Kau pernah berkata,
Kita ini bagai daun tua
Gemetar sebelum disapu angin
Gemetar karena menguji diri sendiri
Apakah masih kuat bertahan
Di dahan
Sebelum agin terakhir
Sebelum siang terakhir
Sebelum tik - tok terakhir
Tapi sudahlah,
Aku toh harus juga ke kantor
Sehabis tetek – bengek pagoo:
segelas kopi:
Setangkep roti.
Hari ini
Akan mendung tanpa hujan,
Kata ramalan cuaca.
Aku akn pulang cepat nanti
Sebelum makan malam.”
Tapi tukang sulap, entah kenapa
Ternyata punya kehendak lain
/V/
Di antara yang meretas dalam kepala
kita
Dan api yang berkobar di seberang
jalan
Melandai beberapa patah sabda
Di antara yang di kepala, yang
berkobar, dan sabda
Bergetar ayat – ayat yang kita hapal
lafaznya
Yang hanya bisa kita tafsir –
tafsirkan maknanya
/VI
Ada yang menghitung waktu api
Dengan bunyi – bunyi aneh
Seperti yang kita dengar
Ketika masih dalam rahim ibu
Ada yang menghitung jam api
Dengan isyarat – isyarat ganjil
Seperti yang pernah kita kenal
Ketika masih dalam kobaran itu
Ada yang menghitung detik api
Dengan kedap – kedip pelik
Seperti yang pernah mereka lihat
Ketika orang – orang memakamkan kita
/VII/
Gambar – gambar
Di koran hari ini
Godaan
Bagi kita
Untuk tetap
Menyisakan
Aneka
Kata seru
/VIII/
Di atap rumah seberang jalan
Seekor burung gereja mengibas - ngibaskan
Sayapnya sehabis geremis
Di pagi (yang bagai mata kena jeruk)
itu
Kelopak air berguguran ke sana ke
mari
Sementara di sudut atas gedung itu
Di seberang sana, dibekas sarangnya
Asap sisa api kemarin masih juga
/IX/
Api adalah lambang kehidupan
Itu sebabnya ia tak bisa
Menjadi fosil
Api adalah lambang kehidupan
Itu sebabnya kita luluh lantak
Dalam kobarannya
/X/
Sore itu akhirnya berubah juga
Menjad abu sepenuhnya
Sebelum sempat menyadari
Bahwa ternyata ada saat untuk
istirahat
Di antara gundukan – gundukan
Yang sulit di pilah – pilahkan
Ah, untuk apa pula
Toh segera diterbangkan angin selagi
hangat
/XI/
Di akhir jalan panjang itu
Tertera pertanyaan
“Apa yang masih tersisa dari tubuhmu”
Isi saja “tak ada”
Tapi, o ya, mungkin kenangan
Yang tentu juga sia – sia bertahan
/XII/
Ia akhirnya menerima perannya
Sebagai tokoh khlayali: digeser
kesana
Ke mari: di halaman koran, di layar
televisi,
Dan sulapan bunyi – bunyian di
radio:
Ia pun harus pandai – pandai
Menempatkan dirinya dalam deretan
Gagasan, peristiwa, dan benda
Yang harus segera kita lupakan
/XIII/
Kau tak berhak mengingat apa – apa lagi
Dekat perbatasan kau rogoh ktp mu
tapi untuk apa pula
Kau akan menyeberangi kenyataan
terakhir
Sesudah bentukmu diubah sama sekali
Kau tak lagi memerlukan apa pun:
sisir, sepatu,
Pakaian seragam, bahkan ingatan akan
penyeberangan ini
Duduklah baik – baik, kau tak berhak
mondar – mandir lagi
Tak berhak punya masud apa pun: ini
bukan lakon Anoman Obong
/XIV/
Kami memang sangat banyak
Astagfiruallah
Menumpuk di dekat sampah
Tak sempat diangkut
Tergoda minyak
Habis terbakar
Kami memang sangat banyak
Astagfiruallah
/XV/
Waktu upacara hampir usai kau tak
ingat
Bahwa kuburan di kampung sudah penuh
Mungkin satu – satunya basa – basi yang
tersisa
Adalah menguburmu sementara dalam
ingatan kami
(1998 - 1999)