Sajak Bebas (kepada L.K. Bohang)
Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat.
Siapa berkata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.
Dia bertanya jam berapa!
Sudah larut sekali
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti
Nisan
untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.
Oktober 1942
Penghidupan
Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji tenaga pematang kita
mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahgia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.
Desember 1942
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Februari 1943
Tak Sepadan
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa
Ahasvéros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
Februari 1943
Sia - Sia*
Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Sia - Sia**
Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Februari 1943
Ajakan*
Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
Ria bahgia
Tak acuh apa-apa
Gembira-girang
Biar hujan datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.
Februari 1943
Sendiri
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
la memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
la membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Februari 1943
Pelarian
I
Tak tertahan lagi
remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa
II
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
“Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!”
Tak kuasa — terengkam
la dicengkam malam.
Februari 1943
Suara Malam
Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”*
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan duka
kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada
dan sekali akan menghadap cahaya.
.......................................................
Ya Allah! Badanku terbakar — segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.
Februari 1943
AKU*
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Semangat*
Kalau sampai waktuku
kutahu tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih dan peri.
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Maret 1943
Hukum
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul.
Bungkuk jalannya — Lesu
Pucat mukanya — Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!
Maret 1943
Taman
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia
Maret 1943
Lagu Biasa
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana....
Maret 1943
Kupu Malam Dan Biniku
Sambil berselisih lalu
mengebu debu.
Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang
Barah ternganga
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu
Barangkali tak setahuku
Ia menipuku.
Maret 1943
Penerimaan
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
Kesabaran
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba
Maret 1943
Perhitungan
Banyak gores belum terputus saja
Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya
Langit bersih-cerah dan purnama raya...
Sudah itu tempatku tak tentu di mana.
Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran
Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi...!?
Kini aku meringkih dalam malam sunyi.
16 Maret 1943
Kenangan
untuk Karinah Moordjono
Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! tercebar rasanya diri
Membubung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya; Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia
19 April 1943
Rumahku
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
27 April 1943
Hampa*
kepada Sri
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Hampa**
kepada Sri yang selalu sangsi
Sepi di luar, sepi menekan-mendesak
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepas diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
Kawanku Dan Aku*
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata...?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti.
Kawanku Dan Aku** (kepada L.K. Bohang)
Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat.
Siapa berkata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.
Dia bertanya jam berapa!
Sudah larut sekali
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti
5 Juni 1943
Bercerai
Kita musti bercerai
Sebelum kicau murai berderai.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Benar belum puas serah-menyerah
Darah masih berbusah-busah.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Kita musti bercerai
Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai
Dua benua bakal bentur-membentur.
Merah kesumba jadi putih kapur.
Bagaimana?
Kalau IDA, mau turut mengabur
Tidak samudra caya tempatmu menghambur.
7 Juni 1943
Aku
Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak
Cumbu-buatan satu biduan
Kujauhi ahli agama serta lembing-katanya.
Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak bergerak
Dengan cacar melebar, barah bernanah
Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga.
8 Juni 1943
Cerita
kepada Darmawidjaja
Di pasar baru mereka
Lalu mengada-menggaya.
Mengikat sudah kesal
Tak tahu apa dibuat
Jiwa satu teman lucu
Dalam hidup, dalam tuju.
Gundul diselimuti tebal
Sama segala berbuat-buat.
Tapi kadang pula dapat
Ini renggang terus terapat.
9 Juni 1943
Di Mesjid
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka.
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
29 Mei 1943
Selamat Tinggal*
perempuan....
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
— dalam hatiku? —
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah...!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal...!!!
Selamat Tinggal**
Aku berkaca
Bukan buat ke pesta
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru-menderu
— dalam hatiku? —
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah...!!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal....
Selamat tinggal...!!!
12 Juli 1943
Mulutmu Mencubit Di Mulutku*
Mulutmu mencubit di mulutku
Menggelegak benci sejenak itu
Mengapa merihmu tak kucekik pula
Ketika halus-perih kau meluka??
12 Juli 1943
Dendam
Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak tampak
13 Juli 1943
Merdeka
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
14 Juli 1943
Kita Guyah Lemah*
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
Mari tegak merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan.
22 Juli 1943
Jangan Kita Di Sini Berhenti*
Jangan kita di sini berhenti
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi-kendi
Terus, terus dulu...!!
Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris
Pelayannya kita dilayani gadis-gadis
O, bibir merah, selokan mati pertama
O, hidup, kau masih ketawa??
24 Juli 1943
1943
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.
1943
Isa
kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka
aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
12 November 1943
Doa
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
Sajak Putih*
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah....
Sajak Putih**
buat tunanganku Mirat
bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku
hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah...
Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku...
18 Januari 1944
Dalam Kereta
Dalam kereta.
Hujan menebal jendela
Semarang, Solo..., makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa,
Sayatan terus ke dada.
15 Maret 1944
Siap - Sedia
kepada angkatanku
Tanganmu nanti tegang kaku,
Jantungmu nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu nanti mengeras batu,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus memahat ini Tugu,
Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.
Suaramu nanti diam ditekan,
Namamu nanti terbang hilang,
Langkahmu nanti enggan ke depan,
Tapi kami sederap mengganti,
Bersatu maju, ke Kemenangan.
Darah kami panas selama,
Badan kami tertempa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami pembawa ke Bahgia nyata.
Kawan, kawan
Menepis segar angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menembus surya cahaya
Memancar pencar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutan
Segala menyala-nyala!
Segala menyala-nyala!
Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesedaran
Mencucuk menerang hingga belulang.
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!
1944
Kepada Penyair Bohang
Suaramu bertanda derita laut tenang...
Si Mati ini padaku masih berbicara
Karena dia cinta, di mulutnya membusah
Dan rindu yang mau memerahi segala
Si Mati ini matanya terus bertanya!
Kelana tidak bersejarah
Berjalan kau terus!
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah.
Dan duka juga menengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah:
“Aku saksi!”
Bohang,
Jauh di dasar jiwamu
bertampuk suatu dunia;
menguyup rintik satu-satu
Kaca dari dirimu pula....
1945
Lagu Siul*
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja.
II
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa,
Aku terpanggang tinggal rangka
25 November 1945
Malam
Mulai kelam
belum buntu malam,
kami masih saja berjaga
—Thermopylae? —
—jagal tidak dikenal? —
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam
hilang....
1945
Sebuah Kamar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!
1946
Kepada Pelukis Affandi
Kalau, ‘ku habis-habis kata, tidak lagi
berani memasuki rumah sendiri, terdiri
di ambang penuh kupak,
adalah karena kesementaraan segala
yang mencap tiap benda, lagi pula terasa
mati kan datang merusak.
Dan tangan ‘kan kaku, menulis berhenti,
kecemasan derita, kecemasan mimpi;
berilah aku tempat di menara tinggi,
di mana kau sendiri meninggi
atas keramaian dunia dan cedera,
lagak lahir dan kelancungan cipta,
kau memaling dan memuja
dan gelap-tertutup jadi terbuka!
1946
Dengan Mirat*
Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan dia hanya menjengkau
rakit hitam.
‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran pitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu?
8 Januari 1946
Catetan Tahun 1946
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita — anjing diburu — hanya melihat sebagian dari
sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu;
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak
lahir sempat.
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau basah!
1946
Buat Album D.S.
Seorang gadis lagi menyanyi
Lagu derita di pantai yang jauh,
Kelasi bersendiri di laut biru, dari
Mereka yang sudah lupa bersuka.
Suaranya pergi terus meninggj,
Kami yang mendengar melihat senja
Mencium belai si gadis dari pipi
Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi.
Kami rasa bahagia tentu ‘kan tiba,
Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan
Dan di negeri kelabu yang berhiba
Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan.
Lagu merdu! apa mengertikah adikku kecil
yang menangis mengiris hati
Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil,
Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali?
1946
Nocturno
(fragment)
................................................................
Aku menyeru — tapi tidak satu suara
membalas, hanya mati di beku udara.
Dalam diriku terbujur keinginan,
juga tidak bernyawa.
Mimpi yang penghabisan minta tenaga,
Patah kapak, sia-sia berdaya,
Dalam cekikan hatiku
Terdampar.... Menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu.
Ingatan pada Ajal yang menghantu.
Dan demam yang nanti membikin kaku....
................................................................
Pena dan penyair keduanya mati,
Berpalingan!
1946
Cerita Buat Dien Tamaela
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kirim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau....
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
1946
Kabar Dari Laut
Aku memang benar tolol ketika itu,
mau pula membikin hubungan dengan kau;
lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,
berujuk kembali dengan tujuan biru.
Di tubuhku ada luka sekarang,
bertambah lebar juga, mengeluar darah,
di bekas dulu kau cium napsu dan garang;
lagi aku pun sangat lemah serta menyerah.
Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.
Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang.
Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.
Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,
Atau di antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?
1946
Senja Di Pelabuhan Kecil (buat Sri Ajati)
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
Cintaku Jauh Di Pulau
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
Betina”-Nya Affandi
Betina, jika di barat nanti
menjadi gelap
turut tenggelam sama sekali
juga yang mengendap,
di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.
Matamu menentang — sebentar dulu! —
Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu,
sekarang senja gosong, tinggal abu...
Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran
Perempuan dan Laki.
Situasi
........................................................
Tidak perempuan! yang hidup dalam diri
masih lincah mengelak dari pelukanmu gemas gelap,
bersikeras mencari kehijauan laut lain,
dan berada lagi di kapal dulu bertemu,
berlepas kemudi pada angin,
mata terpikat pada bintang yang menanti.
Sesuatu yang mengepak kembali menandungkan
Tai Po dan rahsia laut Ambon
Begitulah perempuan! Hanya suatu garis kabur
bisa dituliskan
dengan pelarian kebuntuan senyuman
Cirebon 1946
Dari Dia (buat K)
Jangan salahkan aku, kau kudekap
bukan karena setia, lalu pergi gemerencing ketawa!
Sebab perempuan susah mengatasi
keterharuan penghidupan yang ‘kan dibawakan
padanya...
Sebut namaku! ‘ku datang kembali ke kamar
Yang kautandai lampu merah, kaktus di jendela,
Tidak tahu buat berapa lama, tapi pasti di senja samar
Rambutku ikal menyinar, kau senapsu dulu kuhela
Sementara biarkan ‘ku hidup yang sudah
dijalinkan dalam rahsia...
Cirebon 1946
Kepada Kawan
Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
30 November 1946
Pemberian Tahu
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!
1946
Sorga*
buat Basuki Resobowo
Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya
kerlingnya Jati?
Malang, 25 Februari 1947
Sajak Buat Basuki Resobowo*
Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang! — Coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!
Lagi jalan ini berapa lama?
Boleh seabad... aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku di situ!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! jawab sendiri! — Aku terus gelandangan....
28 Februari 1947
Dua Sajak Buat Basuki Resobowo**
I
Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang! — Coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!
Lagi jalan ini berapa lama?
Boleh seabad... aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku di situ!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! jawab sendiri — Aku terus gelandangan....
II
Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
Suaranya berat menelan seperti Nina, punya
kerlingnya Jati?
Malang, 28 Februari 1947
Malam Di Pegunungan
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
Tuti Artic
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
— ketika kita bersepeda kuantar kau pulang —
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi... hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
1947
Persetujuan Dengan Bung Karno
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,
dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
1948
Sudah Dulu Lagi*
Sudah dulu lagi terjadi begini
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil
Jangan tanya mengapa jari cari tempat di sini
Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi
Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang
penghabisan
Yang akan terima pusaka: kedamaian antara
runtuhan menara
Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil.
1948
Ina Mia
Terbaring di rangkuman pagi
— hari baru jadi —
Ina Mia mencari
hati impi,
Teraba Ina Mia
kulit harapan belaka
Ina Mia
menarik napas panjang
di tepi jurang
napsu
yang sudah lepas terhembus,
antara daun-daunan mengelabu
kabut cinta lama, cinta hilang
Terasa gentar sejenak
Ina Mia menekan tapak di hijau rumput,
Angin ikut
— dayang penghabisan yang mengipas —
Berpaling
kelihatan seorang serdadu mempercepat langkah di tekongan.
1948
Perjurit Jaga Malam*
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu....
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
1948
Puncak
Pondering, pondering on you, dear....
Minggu pagi di sini. Kederasan ramai kota yang terbawa
tambah penjoal dalam diri — diputar
atau memutar —
terasa tertekan; kita berbaring bulat telanjang
Sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang.
Berada 2000 m. jauh dari muka laut, silang siur
pelabuhan,
jadi terserah pada perbandingan dengan
cemara bersih hijau, kali yang bersih hijau
Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu
mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di balik rupa.
Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang
masih mengandung kabut, dan kau lihat di sana,
bahwa antara
cemara bersih hijau dan kali gunung bersih hijau
mengembang juga tanya dulu, tanya lama, tanya.
1948
Buat Gadis Rasid
Antara
daun-daun hijau
padang lapang dan terang
anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
burung-burung merdu
hujan segar dan menyebar
bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku”
Dan
angin tajam kering, tanah semata gersang
pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi
Kita terapit, cintaku
— mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
— the only possible non-stop flight
Tidak mendapat.
1948
Selama Bulan Menyinari Dadanya*
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan
di hadapan berpuluh lorong dan gang
menimbang:
ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Juga ibuku yang berjanji
tidak meninggalkan sekoci.
Lihatlah cinta jingga luntur:
Dan aku yang pilih
tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur
rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi
pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang
Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di
zaman kanak,
Lihatlah cinta jingga luntur:
Kalau datang nanti topan ajaib
menggulingkan gundu, memutarkan gasing
memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan
aku sudah lebih dulu kaku.
1948
Mirat Muda, Chairil Muda (Di Pegunungan 1943)
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada
mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati.
1949
Buat Nyonya N.
Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu,
dan kini dia turun ke rendahan datar.
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu,
Burung-burung asing bermain keliling kepalanya
dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada gaun.
Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu
Atas puncak tinggi sendiri
berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia
sungguh tidak tahu
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi,
Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah - buah pandan ganjil
Turun terus. Sepi.
Datar-lebar-tidak bertepi
1949
Aku Berkisar Antara Mereka
Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:
kenyataan-kenyataan yang didapatnya.
(bioskop Capitol putar film Amerika,
lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota
Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga
Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,
Sedang tahun gempita terus berkata.
Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.
Ah hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku pula.
1949
Yang Terampas Dan Yang Putus*
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
Derai - Derai Cemara*
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Aku Berada Kembali*
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari
lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh.
1949
Sajak Sanduran
Kepada Peminta -Minta
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Juni 1943
Kerawang - Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.
1948
Aku mau hidup seribu tahun lagi”, tulis Chairil Anwar dalam sajak “Aku” atau “Semangat” pada tahun 1943, ketika ia berumur 20 tahun. Enam tahun kemudian ia meninggal dunia, di makamkan di Karet, yang disebutnya sebagai “daerahku y.a.d.” dalam “Yang Terampas dan Yang Putus” — sajak yang ditulisnya beberapa waktu menjelang kematiannya pada tahun 1949. tanggal 28 April hari kematian Chairil Anwar — sebagai Hari Sastra Penolakan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra menyiratkan kenyataan bahwa penyair ini memang sungguh-sungguh di anggap memainkan peranan menentukan dalam perkembangan sastra kita. Ia tumbuh di zaman yang sangat ribut, menegangkan, dan bergerak cepat.
Peristiwa - peristiwa penting susul-menyusul; untuk pertama kalinya sejak di jajah Belanda negeri ini membukakan diri lebar-lebar terhadap segala macam pengaruh dari luar. Pemuda yang pendidikan formalnya tidak sangat tinggi ini harus menghadapi serba pengaruh itu; dan ia pun tidak hanya mengenal para sastrawan Belanda yang di cantumkan dalam pelajaran sekolah, tetapi juga membaca karya sastrawan sezaman dari Eropa dan Amerika, seperti T.S. Eliot, Archibald MacLeish, W.H. Auden, John Steinbeck, dan Ernest Hemingway. Ia sempat menerjemahkan beberapa di antaranya, atau menyadurnya, atau mencuri beberapa larik dan ungkapannya tidak dikuasai sepenuhnya oleh yang di bacanya, tetapi berusaha benar-benar untuk menguasainya. Hasilnya adalah antara lain sajak saduran “Krawang-Bekasi” (dari karya MacLeish) dan terjemahan “Huesca” (dari karya John Cornford, seorang penyair yang tidak begitu terkenal). Sadurannya itu boleh di katakan sudah menjadi milik umum di sini, sedangkan “Huesca” membuktikan keunggulannya sebagai penerjemah puisi. Dan ia telah pula berhasil mencuri dari khasanah sastra dunia demi puisi yang di tulisnya; kata T.S. Eliot, penyair yang salah sebuah sajaknya telah di terjemahkan Chairil Anwar, “penyair teri meminjam, penyair kakap mencuri.” Seperti perubahan yang sangat cepat di sekelilingnya, Chairil Anwar pun tumbuh sangat cepat, dan raganya layu dengan cepat pula. Ketika meninggal, mungkin sekali ia sudah berada di puncak kepenyairannya, tetapi mungkin juga ia masih akan menghasilkan sajak-sajak yang lebih unggul lagi seandainya dia hidup lebih lama.
Tetapi mungkin ia malah berhenti menulis puisi dan memasuki dunia politik atau dagang seandainya di karuniai umur panjang. Sebaiknya, kita tidak usah saja membuat pengandaian. Chairil Anwar tidak bisa bekerja lebih lama. Ia telah meninggalkan sejumlah sajak untuk kita. Tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau, yang tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi.meninggal pada 28 april 1949
Peristiwa - peristiwa penting susul-menyusul; untuk pertama kalinya sejak di jajah Belanda negeri ini membukakan diri lebar-lebar terhadap segala macam pengaruh dari luar. Pemuda yang pendidikan formalnya tidak sangat tinggi ini harus menghadapi serba pengaruh itu; dan ia pun tidak hanya mengenal para sastrawan Belanda yang di cantumkan dalam pelajaran sekolah, tetapi juga membaca karya sastrawan sezaman dari Eropa dan Amerika, seperti T.S. Eliot, Archibald MacLeish, W.H. Auden, John Steinbeck, dan Ernest Hemingway. Ia sempat menerjemahkan beberapa di antaranya, atau menyadurnya, atau mencuri beberapa larik dan ungkapannya tidak dikuasai sepenuhnya oleh yang di bacanya, tetapi berusaha benar-benar untuk menguasainya. Hasilnya adalah antara lain sajak saduran “Krawang-Bekasi” (dari karya MacLeish) dan terjemahan “Huesca” (dari karya John Cornford, seorang penyair yang tidak begitu terkenal). Sadurannya itu boleh di katakan sudah menjadi milik umum di sini, sedangkan “Huesca” membuktikan keunggulannya sebagai penerjemah puisi. Dan ia telah pula berhasil mencuri dari khasanah sastra dunia demi puisi yang di tulisnya; kata T.S. Eliot, penyair yang salah sebuah sajaknya telah di terjemahkan Chairil Anwar, “penyair teri meminjam, penyair kakap mencuri.” Seperti perubahan yang sangat cepat di sekelilingnya, Chairil Anwar pun tumbuh sangat cepat, dan raganya layu dengan cepat pula. Ketika meninggal, mungkin sekali ia sudah berada di puncak kepenyairannya, tetapi mungkin juga ia masih akan menghasilkan sajak-sajak yang lebih unggul lagi seandainya dia hidup lebih lama.
Tetapi mungkin ia malah berhenti menulis puisi dan memasuki dunia politik atau dagang seandainya di karuniai umur panjang. Sebaiknya, kita tidak usah saja membuat pengandaian. Chairil Anwar tidak bisa bekerja lebih lama. Ia telah meninggalkan sejumlah sajak untuk kita. Tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau, yang tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi.meninggal pada 28 april 1949